Pengangguran dan Konsensus Keadilan: Persoalan Individual atau Hambatan Sosial?

Hayuning Ratri Hapsari | M. Fatah Mustaqim
Pengangguran dan Konsensus Keadilan: Persoalan Individual atau Hambatan Sosial?
Ilustrasi pengangguran. (Pexels.com/nathan-cowley)

Apakah problem pengangguran disebabkan karena persoalan individual terkait keterampilan yang tidak sesuai kualifikasi pasar kerja ataukah karena hambatan sosial (struktural) yang berimbas sempitnya lapangan pekerjaan?

Tentu saja problem pengangguran secara umum disebabkan karena berbagai faktor terkait persoalan individual maupun sosial.

Namun dalam konteks Indonesia yang menganut konsensus keadilan sosial sebagai tujuan (goal) bernegara sesuai sila ke-5 Pancasila maka problem pengangguran pertama-tama semestinya dilihat dengan kesadaran solidaritas sosial.

Dengan kata lain, problem pengangguran adalah tanggung jawab kolektif, persoalan publik dan bukan semata persoalan privat yang ditanggung sepenuh “dosa-dosanya” oleh tiap individu pengangguran tanpa terlebih dahulu melihat akar persoalan sosial yang lebih besar. 

Problem pengangguran semestinya diletakkan ke dalam konteks sosial, sehingga tidak menafikan persoalan struktural sebagai salah satu variabel determinan atau penyebab utama pengangguran.

Maka, cita-cita keadilan sosial pertama-tama adalah menghilangkan hambatan struktural dengan membuka dan membagi adil akses terhadap sumber daya dan aktualisasi sosial tanpa diskriminasi.

Pada saat bersamaan juga membangun martabat manusia melalui pendidikan yang setara sehingga tiap individu memperoleh kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi kemanusiaannya.

Konsensus keadilan sosial menjunjung tinggi derajat manusia (individu) dengan suatu kepercayaan bahwa tiap manusia secara fitrah telah dianugerahi potensi unik.

Namun persoalannya potensi tersebut sering kali tidak mendapat arena atau tempat memadai untuk diaktualisasikan, sehingga munculah problem pengangguran.

Dengan demikian, sering kali problem pengangguran dalam perspektif demikian lebih merupakan bagian dari persoalan kegagalan sosial dan bukan sebaliknya bahwa pengangguran adalah parasit, penyakit atau sampah individu yang mengotori masyarakat. 

Maka ketika problem pengangguran cenderung terdistorsi sekadar persoalan privat dengan anggapan bahwa semua penganggur adalah individu yang malas, bodoh, insecure, inkompeten sehingga kalah dalam persaingan sesungguhnya anggapan tersebut mengabaikan keniscayaan bahwa individu juga merupakan bagian integral yang eksistensinya dipengaruhi dan dibentuk oleh sistem masyarakatnya sendiri.

Maka persoalan inkompetensi individu semestinya juga cerminan dari persoalan sosial (cq. kegagalan sosial) dan tanggung jawab kolektif masyarakat (keluarga, lingkungan terdekat, pendidikan) dan negara.

Dengan demikian, masyarakat dan negara tidak bisa serta merta “cuci tangan” menganggap problem pengangguran sebagai persoalan privat.

Tetapi, mengapakah kini problem pengangguran seolah dipisahkan bahkan dieliminasi dari konteks sosial seolah pengangguran adalah persoalan individu dan dosa pribadi semata, sehingga kita kehilangan solidaritas sosial untuk bersama-sama secara kolektif menyediakan solusi kebijakan publik bagi saudara kita yang menganggur?  

Eksklusi dan Domestikasi Persoalan Sosial

James T. Siegel dalam bukunya Penjahat Gaya (Orde) Baru (1998) mengungkapkan bahwa rezim Orde Baru secara struktural dan sistematis melalui tangan kekuasaan negara telah mengeksklusi dan mendomestikasi berbagai persoalan publik dari konteks sosial.

Salah satunya, Orde Baru telah mengeksklusi persoalan kriminalitas dari konteks sosial sekadar persoalan kejahatan jalanan yang dilakukan individu atau oknum jahat semata tanpa melihat persoalan ketimpangan sosial (cq. kemiskinan, pengangguran) sebagai akar persoalan munculnya kriminalitas itu sendiri.

Eksklusi dan domestikasi persoalan sosial ala Orde Baru saya kira juga telah mempengaruhi cara pandang kita mengenai persoalan korupsi yang kini cenderung dianggap sekadar persoalan lemahnya penegakan hukum an-sich atau sekadar peristiwa penyalahgunaan wewenang jabatan oleh oknum korup sehingga mengaburkan persoalan sistemik yang lebih mendasar. 

Konsekuensinya, korupsi hanya dianggap perbuatan kriminal domestik dari oknum brengsek atau sekadar persoalan teknis birokratis parsial sehingga melokalisir persoalannya sekadar masalah prosedural dan moral individual.

Tidak mengherankan jika hukuman penjara bagi para koruptor sering kali begitu ringan dan sama sekali tidak mencerminkan rasa keadilan serta dampak luas yang ditimbulkan secara sistemik (kompleks).

Ketika dosa sosial dikerdilkan sebatas dosa personal maka sering kali sebagian di antara kita begitu mudahnya melupakan dosa korupsi sementara kita justru mendistorsi persoalan sosial seperti pengangguran dan melabeli orang-orangnya dengan ejekan malas, bodoh dan kalah bersaing seolah para penganggur itu menanggung dosa sosial.

Tidakkah kita melihat akar persoalan sosial lebih besar yang menyebabkan problem pengangguran itu sendiri?

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak