Ada lagi kasus viral yang menimpa seorang wanita asal Pariaman yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya jelang pernikahan.
Menurut dugaan yang ada, kasus ini dilatarbelakangi oleh orang tua calon suaminya yang mempersulit proses pernikahan tersebut. Padahal, tinggal menghitung hari mereka nyaris melabuhkan ikatan dalam bahtera rumah tangga.
Semua berawal dari uang Panjapuik (sejumlah uang yang harus diserahkan keluarga mempelai perempuan dalam adat Minang) yang dinilai mempersulit. Menurut kabar yang beredar, calon mempelai laki-laki telah disekolahkan tinggi-tinggi oleh kedua orang tuanya sehingga harus diberi uang Panjapuik dengan jumlah yang pantas. Artinya keluarga calon mempelai perempuan mesti 'membeli' dengan harga yang setimpal dengan kualifikasi pendidikan calon mempelai laki-laki tersebut, yang juga berasal dari keluarga yang berada.
Memang hal ini bikin geleng-geleng kepala bagi sejumlah orang. Dan kita tidak bisa menutup mata bahwa tradisi demikian masih marak dilakukan oleh sejumlah masyarakat. Betapa banyak pasangan yang akhirnya memilih untuk menyerah dengan hubungannya lantaran mengetahui bahwa keluarga khususnya orang tua menuntut permintaan yang diluar kesanggupan.
Selain di suku Minang, ada lagi tradisi dari suku Bugis Makassar yang nyaris serupa, yakni tradisi uang Panaik. Uang Panaik ini menjadi syarat sebuah pernikahan di daerah Sulawesi Selatan. Jika suku di Minang mempersyaratkan agar pihak perempuan menyerahkan uang Panjapuik, maka di Bugis Makassar berlaku sebaliknya. Pihak laki-laki lah yang mesti menyerahkan sejumlah uang kepada keluarga calon mempelai perempuannya.
Dan dalam banyak kasus, tidak jarang para lelaki harus mundur teratur karena tidak sanggup memenuhi permintaan uang Panaik dengan jumlah yang bisa mencapai ratusan juta.
Lantas, harus berapa banyak pasangan yang gagal menjalin pernikahan karena terkendala tradisi semacam ini? Padahal secara hukum negara hingga agama pun, pernikahan dapat dilangsungkan dengan syarat-syarat yang sebenarnya memudahkan.
Hanya saja ego dari keluarga terkadang membuat runyam proses untuk beralih ke jenjang yang lebih serius. Meminta uang untuk resepsi dengan jumlah yang tidak sedikit demi 'memberi makan' gengsi. Lantas mengabaikan kondisi dan perasaan anak-anaknya.
Padahal sebuah resepsi hanyalah seremonial yang dirayakan sehari. Jika memang ada dana berlebih dari masing-masing pihak, akan lebih baik jika ditabung untuk keperluan masa depan yang lebih membutuhkan.
Meskipun tidak menampik bahwa masih ada orang tua yang mampu bersikap bijak dengan memudahkan proses pernikahan anak mereka. Ada pula yang bahkan sudah menganggap bahwa tradisi semacam ini sudah sepatutnya dijalankan sesuai kemampuan masing-masing.
Dan hal inilah yang seharusnya dipertimbangkan sebelum menerapkan sebuah tradisi. Bahwa sejatinya tradisi hanyalah pelengkap dalam sebuah perayaan. Tidak harus menjadi syarat mutlak yang pada akhirnya memberatkan.