Ada Hikmah di Balik Duka Seorang Anak yang Ditinggalkan Ayah

Hernawan | thiara chairun nisa
Ada Hikmah di Balik Duka Seorang Anak yang Ditinggalkan Ayah
ilustrasi cowok bersedih. (Unsplash/Francisco Gonzalez)

Berbicara soal ingatan, saya suka iri kalau liat orang yang menceritakan masa kecilnya. Mulai dari teman-teman lama, tempat yang punya kenangannya tersendiri, permainan yang sering dimainkan, hingga banyak momen yang masih bisa diceritakan tiap detailnya. Kata saya, "Kok bisa? Kok bisa, sih, mereka ingat gimana masa kecil mereka tumbuh? Nama tempat, bahkan gak jarang sampai nama teman-teman lama di masa TK. Lah, kok saya nggak?"

Iya, entah karena saya yang pelupa atau memang gak punya banyak cerita tentang masa kecil. Dulu, keluarga saya termasuk sering pindah-pindah rumah. Malah, saya pernah bersekolah di 5 SD berbeda. Sayangnya, saya gak ingat pernah TK di mana, di mana saya sering menghabiskan waktu bermain sama teman-teman, bahkan gak ada satu pun nama dari mereka yang saya ingat, apalagi kejadian tertentu.

Yang bikin saya iri, saya merasa gak punya kenangan yang pada umumnya orang lain punya. Saya gak punya teman, tempat, atau momen yang bisa dikenang, kecuali ingatan ketika almarhum bapak pulang ke Rahmatullah. Asik melow, nih.

Entah apa maksud Allah, berbeda dari kenangan bermain zaman anak-anak, satu-satunya kenangan yang saya ingat tiap detail kejadiannya, ya pas bapak pergi.

Waktu itu usia saya 7 tahun, bapak pulang ke pangkuan Ilahi ketika saya lagi ujian kenaikan kelas. Pagi-pagi, ibu dan adek saya sempat ke sekolah untuk berpamitan sebelum jenguk bapak di rumah sakit. Terbesit pengen ikut menjenguk, tapi saya lagi ujian. Lagian, menjenguk bapak udah kaya rutinitas yang biasa aja. Tapi ternyata, pulang sekolah rumah saya udah terpasang bendera kuning aja.

Almarhum dibawa ke kampung halaman untuk dimakamkan. Saya berdiri paling depan ketika almarhum dimasukkan ke liang lahat. Hari itu saya sama sekali gak bersedih dan menangis. Sebaliknya, saya malah takut; saya takut bapak gentayangan di rumah. Gokil, ya? Bisa-bisanya saya mikir ke sana.

Usia 7 tahun, saya paham kalau meninggal dunia artinya gak akan balik lagi. Tapi saya gak ngerti gimana caranya meluapkan emosi. Kenapa saya gak merasa sedih? Kenapa hari itu saya gak menangis? Kenapa saya malah ketakutan sampai minta ibu menemani saya tiap ke kamar mandi? Tuh, kan, saya ingat detail kejadian hari itu; dari pagi sampai malem harinya.

Miris, gak ada kenangan lain yang benar-benar saya ingat ketika bersama bapak. Saya kangen, tapi bingung harus mengenang apa? Saya lupa suaranya, kebiasaan, aroma khas, bahkan bagaimana postur tubuhnya. Yang ditinggal cuma satu-satunya foto yang saya simpan di hp. Saya berusaha keras buat menyimpang foto ini, jangan sampai lama-lama saya lupa juga wajah bapak, hehe.

Jadi paham, ya, kenapa saya iri dengan mereka yang ingat sama cerita masa kecil? Karena kejadian yang saya ingat justru cuma momen pilu. Rasanya, ingatan hanya sesuatu yang saya pandang lebih ke arah negatif.

Namun, baru-baru ini perspektif soal ingatan ini berubah 180 derajat. Orang terdekat saya, sebutlah Iyan, adalah anak yang sayang banget orang tua. Saya nilai begitu karena ada yang berbeda ketika dia menceritakan tentang ayah dan ibunya. Nadanya riang dan sorot matanya antusias. Menurut saya, sangat jarang menemukan laki-laki dewasa yang begitu ekspresif saat membicarakan keluarga.

Kembali saya dibuat iri dengan Iyan yang mengingat banyak momen bersama orang tersayang. Semacam ada kehidupan lain yang bersarang di kepalanya. Kenapa saya gak memiliki itu?

Hingga Februari lalu, kabar duka datang, ayah Iyan meninggal dunia. Hari itu Iyan sama sekali tegar dan mengantarkan ayahnya dengan tenang. Tapi ketenangan itu yang justru membuat saya cemas. Kira-kira, sedalam apa luka orang yang ditinggal ketika dewasa?

Gini, loh, bicara soal ingatan, saya benci karena gak bisa mengingat momen bersama orang tersayang. Saya tau rindu itu rasanya bagaimana, tapi gak ada objek pasti apa yang bisa saya pikirkan. Saya hanya mengingat wajah dan coba membayangkan—mungkin—saya di masa kecil sama seperti orang kebanyakan: diajari naik sepeda, digendong ke kamar ketika tertidur di ruang tv, atau sekedar bergandengan tangan saat berjalan. Apakah pernah ada momen begitu di hidup saya? Ya, saya gak ingat.

Tapi dipikir-pikir, apa selalu menyenangkan punya ingatan sama orang tersayang? Masalahnya, waktu orang tersayang itu hilang, kenangannya sendiri mungkin malah jadi boomerang.

Iyan bercerita, kalau berdiam di rumah rasanya menyiksa banget. Setiap sudut ruang masih ada bayang-bayang ayahnya. Rumah yang tadinya hangat seketika hampa. Bahkan, beberapa minggu pertama ibu Iyan memutuskan pulang kampung saking gak sanggup tinggal di rumah.

Saya yang cuman sekedar mendengar aja rasanya sakit banget. Ternyata, Allah memang punya maksud baik. Kadang saya mengasihani diri sendiri karena miris banget ditinggal bapak dari kecil. Tapi berkaca dari kisah Iyan, ada secuil rasa syukur yang saya ambil.

Kalau di posisi Iyan, ada kemungkinan saya gak sanggup melanjutkan hidup. Kalau misal, sekarang saya punya banyak ingatan tentang bapak, apakah itu bisa membuat saya merasa lebih baik? Kayanya gak begitu.

Jadi, ingatan buruk di masa lalu memang jadi luka tersendiri. Tapi kenangan bahagia pun kerasa pilu ketika orang dalam ingatan itu udah gak ada—sebab ada begitu banyak kenangan yang hidup di kepala. Mungkin sakin menyiksanya, ada yang menginginkan untuk lupa.

Dari sini, saya juga termotivasi untuk mengenalkan kematian ke anak-anak kelak. Biar mereka lebih matang mengambil perspektif soal ingatan. Biar ketika ada kejadian serupa, mereka paham dan bisa meluapkan perasaan yang sewajarnya.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak