Gak kaget jika Indonesia termasuk negara dengan skor literasi yang tergolong rendah sebab minat membaca masyarakat sendiri tidak begitu besar. Bagaimana bisa? Kita lihat saja sekeliling, berapa banyak orang tua yang tahu tentang literasi? Sehingga jangan harap bahwa anak-anak mereka akan memegang dan membaca buku, kebalikannya, justru smartphone berada di tangan mereka sepanjang hari.
Menurut Programme for International Student Assessment (PISA) atau program penilaian pelajar internasional, melalui penilaian Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), bahwa skor literasi membaca Indonesia turun pada 2022 yaitu hanya mendapat 359 poin.
Dilansir dari Youtube Kemendikbud RI berjudul 'Perilisan Hasil PISA 2022', Anindito Aditomo selaku Kepala BSKAP Kemendikbud Ristek mengatakan bahwa survei PISA 2022 itu tidak mencerminkan pendidikan Indonesia saat ini, sebab ketidakefektifan pembelajaran saat dan setelah pandemi Covid-19. Beliau menargetkan bahwa PISA 2025, Indonesia akan meraih skor yang lebih tinggi.
Baru-baru ini, Rakuten Insight melakukan survei media yang digunakan warga Indonesia untuk membaca buku. Dibalik skor PISA Indonesia yang rendah, ternyata mayoritas penduduk Indonesia lebih suka membaca buku melalui smartphone yaitu sebesar 83%. Sedangkan Vietnam 80% dan Filipina 72% yang berarti masih di bawah Indonesia.
Indonesia lebih sedikit lega dengan skor itu, tapi faktanya, warga Indonesia sangat rendah membaca melalui buku fisik yang hanya mencapai 12%. Padahal, banyak penerbit-penerbit Indonesia yang mengadakan book fair setiap tahunnya. Seperti yang dilakukan Gramedia terhitung sejak tanggal 6 Desember hingga 10 Desember 2023.
Bertajuk 'Semesta Buku' menghadirkan berbagai macam acara seminar bersama penulis-penulis dengan berbagai tema yang menarik. Selain itu, harga yang ditawarkan juga beragam mulai dari 5 ribu rupiah hingga diskon puluhan persen. Dilansir dari instagramnya @semestabuku_id, antusias warga sangat tinggi mulai dari anak-anak hingga orang tua.
Acara bazar buku semacam ini rutin dilakukan di Indonesia, gak hanya dari penerbit Gramedia saja melainkan dari penerbit dan event lainnya. Dengan harga buku yang murah pun gak menjamin masyarakat membaca lewat buku fisik, terbukti dengan persentase yang rendah. Seperti quotes, "Nobody is too busy, it's just a matter of priorities", warga Indonesia belum memprioritaskan membaca sebagai aktivitas harian sehingga dirasa tidak ada kebutuhan membeli buku fisik.
Gak ada salahnya kok dengan media yang kita gunakan untuk membaca, toh harga buku digital dan fisik bersaing sesuai bentuknya. Alternatifnya, kita gak perlu beli sendiri karena sudah ada perpustakaan minimal di tingkat kota. Lebih bagus lagi jika kita membeli buku fisik karena buku itu bisa disimpan untuk anak cucu, apalagi didonasikan.
Padahal, jika sadar prioritas kebiasaan membaca dan kebutuhan membeli buku mungkin akan meningkatkan nilai persentase penggunaan media buku fisik menjadi seimbang dengan membaca melalui smartphone. Tentunya, ini menjadi kewajiban kita bersama demi tercapainya kebiasaan membaca masyarakat Indonesia yang lebih baik.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.