Baru-baru ini, selebriti Aurel Hermansyah dihujat oleh salah seorang netizen yang mengatakan bahwa badannya mirip ibu-ibu. Atta Halilintar langsung pasang badan membela istrinya yang kena body shaming tersebut.
Memang kelakuan netizen yang sudah sampai taraf menghina fisik seperti ini sangat keterlaluan. Bagaimana tidak, seorang perempuan seperti Aurel yang habis melahirkan dan sedang dalam masa menyusui kena bully lantaran penampilannya yang dikatakan tua dan mirip ibu-ibu PKK.
Padahal, amat wajar loh ketika penampilan fisik berubah karena melahirkan. Apalagi harus menyusui bayi yang tentu butuh asupan kalori yang lebih dari makanan yang bergizi.
Sebagai seorang ibu, keputusan Aurel untuk 'mengorbankan' penampilan fisiknya demi tumbuh kembang anaknya adalah sesuatu yang seharusnya didukung. Bukan malah dihujat dan dihina lewat body shaming.
Yang lebih mengherankan adalah ketika pelaku body shaming tersebut juga merupakan seorang perempuan. Seharusnya sesama perempuan kita bisa saling memahami dan memaklumi terkait hal-hal seperti ini. Bukannya kita sering berkoar-koar mengenai jargon women support women? Mana nih yang katanya pengin saling mendukung?
Kasus body shaming seperti ini memang bukan sesuatu yang baru. Kita amat sering menyaksikan di sekitar kita betapa banyak perempuan yang akhirnya tidak percaya diri karena masalah penampilan fisik. Berdasarkan AP Beauty Index 2020, sekitar 62,2% perempuan di Indonesia pernah menjadi korban body shaming selama hidupnya.
Wah, angkanya nyaris di atas 50 persen. Artinya, sebagian besar di antara kita pernah mengalami hal ini. Lalu, jika pelaku yang melontarkan kata-kata yang mengandung penghinaan fisik ternyata juga seorang perempuan, di manakah rasa empati tersebut? Seharusnya sebagai sesama perempuan kita bisa paham betapa tidak enaknya ketika kondisi fisik kita dikomentari buruk oleh orang lain.
Inilah salah satu dampak buruk dari mudahnya bersosial media yang tidak diimbangi dengan kebijakan dalam berkomentar yang baik. Utamanya bagi seorang perempuan, yang seringkali merasa insecure dengan dirinya sendiri, tapi kemudian melampiaskannya kepada orang lain. Ia berusaha mencari kekurangan-kekurangan orang lain untuk menutupi kekurangan pada dirinya sendiri.
Perilaku body shaming ini juga tidak hanya terjadi di media sosial, namun di dunia nyata, kita juga tidak terlepas dari kasus perundungan yang melibatkan antar sesama perempuan. Banyak perempuan yang di-bully karena gendut, terlalu kurus, atau kulit yang terlalu gelap.
Mau sampai kapan kita menjadikan hal-hal seperti di atas sebagai bahan olok-olok? Dan kita tidak tahu persis, sekuat apa mental seseorang menerima perkataan buruk yang kita ucapkan karena tidak mampu mengontrol mulut maupun jempol sendiri.
Jadi, dear ladies. Ayolah kita berhati-hati dalam melontarkan komentar, apalagi terkait penampilan fisik sesama perempuan. Berhentilah saling menjatuhkan dengan komentar buruk. Karena bukan tidak mungkin, komentar-komentar buruk yang kita lontarkan pada orang lain akan kembali ke diri sendiri.