Takjil dan Geliat Ekonomi Ramadhan

Hernawan | Fadilah Azzahra
Takjil dan Geliat Ekonomi Ramadhan
Aktivitas jual beli takjil di sore hari (DocPribadi/Fadilah Azzahra)

Bulan Ramadhan selalu membawa keberkahan bagi para pelaku ekonomi. Tingkat konsumsi masyarakat yang lebih tinggi dari bulan lainnya menjadikan Ramadhan sebagai kontributor dalam mempercepat perpuratan ekonomi, salah satunya terjadi pada sektor pangan melalui penjualan takjil.

Istilah takjil berasal dari Bahasa arab Ajjalu yang memiliki arti menyegarkan atau mempercepat, dalam KBBI istilah takjil awalnya memiliki arti mempercepat (dalam berbuka puasa). Namun seiring berjalannya waktu terjadi pergeseran makna dari takjil sebagai pegangan makanan dan minuman untuk berbuka puasa.

Berburu takjil menjadi bagian dari tradisi Ramadhan yang paling dinanti, sebab masyarakat dapat mencari berbagai macam jenis makanan dan minuman untuk berbuka puasa. Kegiatan ini tentunya membawa dampak positif bagi peningkatan ekonomi masyarakat yang dapat digambarkan melalui model siklus perputaran ekonomi (circular flow) dua sektor, yaitu ketika faktor produksi yang dimiliki rumah tangga konsumen (modal) dan produk yang dimiliki rumah tangga produsen saling berhubungan melalui aktivitas permintaan dan penawaran. 

Munculnya tren kuliner baru di setiap tahunnya mengsinspirasi para produsen untuk menciptakan produk baru yang disesuaikan dengan selera konsumen sehingga jenis makanan dan minuman semakin beragam. Seiring dengan banyaknya permintaan, kenaikan harga bahan baku menjadi hal yang tak bisa dihindari.

Beberapa trik yang dapat dilakukan pedagang dalam mengsiasati kondisi ini agar dapat tetap mempertahankan kualitas produknya adalah dengan menaikan harga makanan, menurunkan sedikit keuntungannya, dan melakukan shrinkflation yaitu adanya pengurangan ukuran atau isi produk agar harganya tetap sama.

Ketidakstabilan harga bahan baku dan desakan permintaan produk yang tinggi dapat memicu terjadinya kenaikan inflasi musiman. Dalam buku karya Purnamawati yang berjudul “Ramadhan dan Geliat Ekonomi” jenis inflasi yang terjadi di bulan Ramadhan dalam perspektif ekonomi islam adalah inflasi natural, yaitu naiknya daya beli masyarakat dan turunnya tingkat produksi karena harga yang cenderung naik sehingga terjadi penurunan nilai mata uang. 

Merujuk pada data bulanan Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, tingkat inflasi saat Ramadhan pada bulan April tahun 2022 sebesar 0,95% (mtm) dan pada Mei sebesar 0,40% (mtm). Tingkat inflasi saat ramadhan di bulan April 2023 tercatat sebesar 0,33% (mtm). Sementara pada tahun ini, tingkat inflasi sebelum Ramadhan yaitu bulan Februari 2024 sebesar 0,37% (mtm). Namun meningkatnya inflasi pada bulan Ramadhan bukan suatu hal baru dalam perekonomian tanah air karena tidak mengurungkan tingkat belanja masyarakat. 

Rantai pasok pangan yang tidak efisien karena memiliki jalur distribusi yang panjang dan kecenderungan pedagang menumpuk barang dagangan menjadi pemicu terjadinya kelangkaan yang kemudian menyebabkan harga barang semakin tinggi. Dalam mengatasi hal ini pemerintah mengambil langkah taktis seperti melakukan peningkatan ketersediaan barang, pemotongan jalur yang tidak diperlukan untuk menghindari manipulasi harga di pasar, menjaga arus logistik pendistribusian barang, dan memantau harga barang di pasar.

Bagi para pelaku usaha, momen Ramadhan dapat dimanfaatkan dengan baik untuk melakukan promosi lebih aktif, menambah koneksi bisnis, dan menjalin Kerjasama dengan pelaku usaha lainnya. Kemudian setelah Ramadhan berakhir, masyarakat dapat mengikuti pelatihan dan pendampingan pengembangan usaha dalam meningkatkan kualitas dan pemasaran produk agar produktivitas tetap terjaga walaupun di luar bulan Ramadhan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak