Sebagai anak yang terlahir dari keluarga pedesaan, aku cukup pengalaman makan garam di desa atau daerah terpencil. Hidup sejak kecil hingga masuk kategori dewasa, aku tahu betul bagaimana rasanya hidup di desa bersama bapak ibuku dan juga keluarga.
Suka duka dan gosip-gosip tetangga kampung sering mengusik telinga itu aku tahu, walau umurku belum terlalu dewasa di waktu itu. Hingga, struktur sosial dan tradisi masyarakat kerap menjadi tanda tanyaku di masa kini. Bukan tanpa alasan, terkadang ada kebiasaan di desa yang justru masih terkesan kuno namun doyan dilakukan.
Kehidupan di desa memang kerap dilabeli punya hubungan sosial yang cukup kuat. Namun dibalik hubungan sosial itu, sering juga terselip gosip-gosip yang tak masuk akal. Misalnya, saat ada orang desa yang punya barang baru, sering kali muncul kecemburuan sosial yang berlebihan dan tak senang kalau nggak punya juga barang serupa.
Selain itu, dari segi penghasilan masyarakat di bidang pertanian, tak selamanya juga mereka mendapat keberpihakan yang adil sesuai amanat UUD dan Pancasila. Ada banyak hasil pertanian masyarakat, namun sering mendapatkan keluhan karena harga jualnya sering menurun drastis hingga mengakibatkan kerugian.
Yang lebih menyesakkan juga ketika ada acara hajatan, banyak kebiasaan masyarakat yang selalu dituntut untuk dilakukan namun di sisi lain bisa merugikan diri sendiri maupun orang lain. Misal, dalam acara hajatan akan selalu jadi perbincangan tetangga kalau hajatannya tidak dibikin rame, kadang dibilang kikirlah, itulah, inilah, dan pokoknya macam-macam sindiran negatif.
Kondisi-kondisi seperti inilah merasuk betul dalam kehidupanku dan sering kali membuat aku nggak nyaman. Hingga akhirnya, aku pun memutuskan untuk melakukan urbanisasi ke kota. Namun sebenarnya, bukan hanya sekedar faktor itu, ada alasan lain yang membuat aku memutuskan untuk melakukan urbanisasi ke kota.
Urbanisasi ke kota ternyata tak seindah yang dibayangkan, nyari kerja begitu sulit
Setelah selesai jadi mahasiswa, aku pun belum lama ini sudah melakukan urbanisasi ke kota. Aku melakukan itu karena ingin mencari kehidupan baru di luar dari kehidupan desa yang selama ini aku alami.
Salah satu yang menjadi faktor utama melakukan urbanisasi karena soal pekerjaan dan kondisi sosial di desaku yang kadang bikin nggak enak. Pikirku menjadi petani di desa seperti yang dilakukan orang tua seakan aku tak mampu melakukannya. Ya memang, karena aku sudah cukup tahu suka duka jadi petani saat masih bersama orang tua.
Makanya, setelah aku menjadi mahasiswa banyak muncul pikiran-pikiran ingin mengkritik kehidupan di desa. Menurutku, ada banyak kejanggalan yang selama ini aku alami dan hal itulah yang membuat aku ingin keluar dari ranah itu.
Tahun 2022 lalu, aku pun sudah resmi melakukan urbanisasi ke kota. Perbedaan kehidupan pun aku mulai rasakan, dan ternyata kesenangan yang aku impi-impikan itu ternyata tak seindah juga yang terjadi.
Dulu aku pikir nyari kerjaan di kota itu lebih gampang ketimbang di desa, ternyata terkesan salah besar. Bisa bekerja di kantoran dengan pakaian yang cukup bersih, tak semudah menanam pohon kakao yang hasilnya bisa kita tunggu di kemudian hari. Kalau nggak ada koneksi, lowongan pekerjaan di kota amatlah sulit. Belum lagi dengan persyaratan-persyaratan loker yang ditentukan kadang mendiskriminasi, baik dari segi umur, pengalaman, berat bahkan tinggi badan.
Acara hajatan di kota bisa lebih simpel ketimbang di desa
Di saat sulitnya dapat pekerjaan di kota, namun dari segi hajatan malah bisa dibilang nggak terlalu merepotkan dibandingkan di desa. Bahkan adakan hajatan di kota, yang diundang bisa dari keluarga sendiri, tanpa merasa nggak enak dengan tetangga. Begitu pun juga sangat simpel jika hajatannya mau dibikin sederhana, nggak ada tuntutan sosial merasa nggak enak.
Namun, kalau di desa jangan harap bisa seperti itu, terutama untuk desa aku ya, mungkin nggak semua juga begitu kok. Di desa, kalau bikin acara sederhana dan ala kadarnya, itu bisa saja jadi bumerang dan jadi bahan cerita masyarakat di desa. Bukan tanpa sebab, soalnya acara hajatan di desa dibikin mewah itu sudah membudaya.
Kalau dibandingkan dari segi gotong royong, tentu di desa bisa dibilang cukup baik. Makanya kalau ada hajatan, walau masih ada waktu satu minggu menuju acara hajatan orang-orang kampung sudah banyak berdatangan, baik untuk memberikan bantuan maupun sekedar nongkrong saja. Makanya nggak heran, kalau sulit adakan hajatan ala kadarnya.
Beda halnya kalau di kota, biar tetangga dekat rumah pun kalau nggak diajak juga nggak akan datang. Bisa dikatakan hajatan di kota baru terlihat ramai kalau sudah masuk hari H-nya.
Itu sih sedikit perbedaan yang aku temukan dan alami saat melakukan urbanisasi ke kota. Selain dari itu, tentu masih ada hal yang lain cukup berbeda dari kehidupan desa dan kota. Hanya saja dua kategori di atas terasa amat aku rasakan, yakni soal sulitnya nyari kerjaan dan budaya hajatan.