Indonesia semakin gawat darurat mengatasi kejahatan seksual. Kok bisa?
Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, sebuah kejadian memilukan terjadi di Palembang menimpa seorang remaja perempuan.
Dilansir dari Suara.com, Minggu (31/8/2024) kasus tewasnya remaja perempuan bernama Ayu Andriani diduga habis digilir oleh empat pelaku yang ternyata masih ABG atau di bawah umur.
Aksi bejat tersebut dilakukan oleh para sekumpulan remaja pria yang rata-rata masih berusia 12-16 tahun. Usia yang masih sangat muda untuk melakukan tindak kejahatan, apalagi kejahatan seksual yang sebenarnya anak di usia tersebut harusnya belum cukup memahami tentang aktivitas seksual.
Tahun 2024, Indonesia telah melakukan pendataan kasus kekerasan sebanyak 17.761 kasus. Pada data tersebut, kejahatan seksual ternyata menjadi jumlah kasus terbanyak, yakni 8.189 kasus. Jumlah tersebut bukanlah jumlah yang sedikit dan bukan serta merta hal yang dapat disepelekan.
Penyebab Kejahatan Seksual
Menurut studi, kemudahan mengakses internet dan konten 18+ menjadi faktor utama munculnya kejahatan seksual. Internet seakan-akan sudah menjadi konsumsi sehari-hari bagi berbagai kalangan, salah satunya anak-anak. Penyebaran konten dewasa di berbagai platform semakin mudah diakses tanpa memandang persetujuan usia.
Bagi anak di bawah umur yang masih rentan, mengakses internet tanpa adanya pendampingan orang dewasa atau orang tua juga jadi faktor anak salah mem-filter tontonan yang mereka konsumsi.
Pada kasus kejahatan seksual di Palembang, para tersangka mengaku terinspirasi dari tontonan porno yang mereka lihat.
Selama menonton, mereka memvisualisasikan diri mereka melakukannya bersama korban dan akhirnya dipraktikkan di dunia nyata. Dari pengungkapan motif tersangka membuktikan betapa bahayanya membiarkan anak di bawah umur mengakses internet seorang diri.
Mengapa Remaja Rentan Melakukan Pelecehan Seksual?
Berkaca dari kasus anak di bawah umur yang melakukan kejahatan seksual di Palembang membuat kita sadar bahwa remaja cenderung mudah melakukan hal nekat sekalipun itu berisiko. Lalu mengapa demikian terjadi?
Penyimpangan hingga kejahatan yang terjadi tak terlepas dari faktor psikologis dan lingkungan di sekitarnya. Usia remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Pada usia inilah, seseorang sangat ingin mengetahui suatu hal dan ingin mencoba apa yang membuatnya penasaran.
Ditambah faktor lingkungan dan pergaulan. Lingkungan sekitar dan pergaulannya memengaruhi karakter seseorang. Apabila lingkungan pergaulannya positif, maka akan terbentuklah kepribadian yang positif pula.
Namun sebaliknya, jika pergaulan tersebut menormalisasi hal-hal negatif seperti pergaulan bebas, menormalisasi tontonan porno hingga obat-obatan. Maka karakter mereka menyesuaikan hal tersebut.
Siapa Pihak yang Bertanggung Jawab?
Pihak yang pertama kali dipertanyakan jika seorang remaja melakukan tindakan kejahatan sudah pasti ialah orang tua. Orang tua dianggap sebagai figur yang paling dekat pada kehidupan anak.
Dengan memberikan batasan dan imbauan sejak dini secara tegas, tentu menumbuhkan pribadi anak yang paham dan minim melakukan penyimpangan.
Selain itu, orang-orang dewasa di sekitarnya juga turut menjadi pihak yang memengaruhi karakter sang anak. Anak tumbuh mencontoh dari orang dewasa.
Oleh sebab itu, jika orang dewasa tidak mengumbar contoh buruk di depan anak atau remaja maka mereka tidak akan tahu hingga mencontohnya.
Kasus kejahatan seksual hingga menewaskan remaja putri di Palembang menjadi kasus yang sangat miris dilakukan oleh sekumpulan remaja pria.
Bahkan, setelah melakukan perbuatan keji tersebut diketahui para pelaku masih sempat melihat proses ditemukannya korban hingga datang ke acara tahlilan korban.
Sudah saatnya memberikan pengawasan terhadap apa yang ditonton oleh anak dan menyaring lingkungan pergaulan mereka.
Selain itu, pentingnya memberikan pendidikan seks sejak dini dapat dilakukan agar anak menjadi lebih aware dan mengetahui konsekuensi terjadinya penyimpangan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS