Pemerintah berencana menerapkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% pada tahun 2025 mendatang. Rencana ini telah memicu berbagai protes dari masyarakat yang khawatir akan meningkatkan beban baik bagi konsumen maupun produsen.
Banyak yang memperingatkan pemerintah bahwa penerapan PPN 12% berisiko menjadi bumerang, bahkan bisa berdampak buruk bagi perekonomian. Para pengusaha telah menyuarakan kekhawatiran mereka terkait dampak negatif yang akan timbul jika kebijakan ini tetap diberlakukan. Mereka beralasan, daya beli masyarakat Indonesia saat ini masih lemah, sehingga kenaikan PPN, meski hanya 1%, akan memberikan dampak yang cukup signifikan.
Kenaikan harga barang akibat PPN yang lebih tinggi dikhawatirkan akan membuat konsumen mengurangi pengeluarannya. Hal ini diperkirakan akan berdampak pada penurunan produksi oleh para produsen, yang akhirnya dapat mendorong mereka untuk melakukan efisiensi, salah satunya melalui pemutusan hubungan kerja (PHK).
Protes terhadap kenaikan tarif PPN ini bahkan datang dari kelompok buruh, yang mengancam akan melakukan mogok nasional. Mereka menilai bahwa upah buruh saat ini sudah tidak cukup untuk menanggung beban tambahan akibat kenaikan PPN tersebut.
Selain itu, pada Kamis (21/11/2024), tagar #TolakPPN12Persen menjadi trending topic di media sosial X. Hingga pukul 12.32 WIB, sudah ada 49,1 ribu unggahan yang menggunakan tagar ini. Seruan penolakan terhadap kebijakan PPN 12% pada 2025 semakin kuat, dengan latar biru dan lambang Garuda yang menambah nuansa nasionalisme dalam kampanye tersebut.
Menanggapi penolakan ini, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Deni Surjantoro, menyatakan bahwa kenaikan PPN menjadi 12% di 2025 telah melalui pembahasan mendalam antara pemerintah dan DPR RI. Ia menegaskan bahwa keputusan ini mempertimbangkan berbagai aspek, baik ekonomi maupun sosial.
Seperti yang diketahui, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah memastikan bahwa tarif PPN yang sesuai dengan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) akan naik menjadi 12% pada Januari 2025, dan kebijakan ini wajib dilaksanakan. Penegasan tersebut disampaikan dalam rapat kerja dengan anggota Komisi XI DPR, di mana banyak anggota DPR yang menanyakan kejelasan tentang kenaikan tarif PPN ini.
Sebagai bentuk protes atas kenaikan PPN tersebut, ajakan untuk menjalani gaya hidup hemat atau frugal living mendadak ramai di media sosial. Gaya hidup ini seharusnya tidak perlu diserukan, karena dengan kenaikan PPN 12%, daya beli masyarakat secara otomatis akan menurun, kecuali jika diimbangi dengan peningkatan pendapatan yang signifikan.
Frugal living adalah gaya hidup yang menekankan pada pengelolaan keuangan secara bijak dan efisien. Prinsip utamanya adalah mengurangi pengeluaran yang tidak perlu, mengutamakan kebutuhan daripada keinginan, dan memaksimalkan pemanfaatan barang atau sumber daya yang ada. Gaya hidup ini bertujuan untuk mencapai kesejahteraan finansial dengan cara menghindari pemborosan dan hidup lebih sederhana.
Dalam konteks kenaikan PPN 12%, gaya hidup frugal menjadi pilihan banyak orang sebagai cara untuk bertahan di tengah kondisi ekonomi yang semakin menantang. Dengan kenaikan PPN yang mempengaruhi harga barang dan jasa, masyarakat pun merasa semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Frugal living menawarkan solusi untuk mengurangi dampak dari kenaikan biaya hidup tersebut.
Meskipun frugal living dapat membantu meringankan beban akibat kenaikan PPN, gaya hidup ini bukanlah solusi jangka panjang untuk mengatasi ketimpangan ekonomi. Penurunan daya beli masyarakat dan ketidakmampuan sektor-sektor ekonomi untuk bertumbuh akan tetap menjadi tantangan besar. Oleh karena itu, frugal living lebih tepat dianggap sebagai strategi bertahan hidup sementara, bukan solusi utama.
Selain itu, pemerintah juga perlu mendengarkan keluhan masyarakat dan mempertimbangkan kebijakan lain yang bisa meringankan dampak kenaikan PPN, seperti peningkatan penghasilan atau pemberian subsidi untuk barang-barang kebutuhan pokok. Hanya dengan kebijakan yang tepat dan seimbang, beban ekonomi masyarakat bisa ditangani dengan baik.
Dengan adanya rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada tahun 2025, banyak masyarakat yang merespons dengan menerapkan gaya hidup frugal living. Meskipun frugal living dapat membantu mengurangi pengeluaran, kebijakan ini tidak dapat sepenuhnya mengatasi dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh kenaikan PPN. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan konsekuensi sosial dan ekonomi dari kebijakan ini dan mencari solusi yang lebih menyeluruh demi kesejahteraan rakyat.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.