Berapa banyak cangkir kopi yang Anda seruput dalam sehari, seminggu, atau bahkan setahun? Pernahkah Anda mencoba menghitung berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk kopi dalam periode waktu tertentu?
Salah satu konsep keuangan yang cukup terkenal, yang diperkenalkan oleh David Bach dan John Mann, menjelaskan bagaimana kebiasaan membeli barang murah, seperti kopi, yang tampaknya tidak signifikan, bisa mengakumulasi pengeluaran besar dalam jangka panjang tanpa disadari.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa masih banyak milenial yang bersikap konsumtif dan kurang mengalokasikan pendapatan mereka untuk menabung atau berinvestasi.
Sekitar 16-31% pendapatan generasi milenial digunakan untuk memenuhi kebutuhan bulanan, dan hanya sebagian kecil yang berinvestasi.
Selain inflasi yang terus meningkat dan kebutuhan hidup yang semakin tinggi, ada beberapa hal lain yang perlu diperhatikan oleh generasi muda, baik milenial maupun Gen Z.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, mengingatkan pentingnya kewaspadaan terhadap kebiasaan kecil yang bisa memberatkan keuangan.
Konsep ini dikenal dengan nama Latte Factor. Istilah ini menggambarkan kebiasaan membeli barang-barang kecil, seperti kopi atau barang konsumtif lainnya, yang sering kali luput dari perhitungan anggaran bulanan.
Banyak merek kopi lokal yang menawarkan produk mereka dengan harga berkisar antara Rp20.000 hingga Rp50.000 per gelas, tergantung jenis dan merek kopi tersebut.
Misalnya, jika kita mengambil harga rata-rata Rp20.000 per cangkir dan mengalikan dengan 5 hari kerja dalam seminggu, maka setiap minggu kita bisa menghabiskan sekitar Rp100.000 untuk kopi.
Dalam sebulan, pengeluaran tersebut bisa mencapai Rp400.000, dan dalam setahun bisa menjadi sekitar Rp4,8 juta—sebuah angka yang cukup besar untuk pengeluaran konsumtif yang bukan kebutuhan utama.
Fenomena serupa juga berlaku untuk pengeluaran lainnya, seperti makeup, skincare, rokok, top-up game online, atau bahkan langganan fitur premium pada aplikasi digital.
Menurut David Bach, jika seseorang berhasil menghindari latte factor dalam kehidupan sehari-hari, maka mereka dapat mengalokasikan sekitar 10-15% dari pendapatan mereka untuk investasi, yang merupakan langkah yang sangat disarankan untuk mencapai stabilitas keuangan jangka panjang.
Selain itu, ada beberapa konsep yang perlu dipahami dalam latte factor:
- Konsep Waktu: Pengeluaran kecil yang tampaknya tidak berarti akan terasa dampaknya dalam jangka panjang. Hal ini baru disadari setelah bertahun-tahun, misalnya 10, 20, atau 30 tahun mendatang.
- Konsep Pengembalian: Bach menilai bahwa investasi dengan pengembalian 1% lebih bermanfaat dibandingkan tidak berinvestasi sama sekali dan kehilangan peluang untuk mendapatkan keuntungan.
- Kebiasaan (Habits): Kebiasaan ini bisa sangat berbahaya jika tidak disadari. Misalnya, para penggemar kopi mungkin merasa bahwa membeli kopi setiap hari adalah bagian dari gaya hidup atau kecintaan mereka terhadap kopi, tanpa menyadari bahwa pengeluaran tersebut bisa menumpuk.
David Bach juga menyoroti beberapa poin terkait dengan latte factor yaitu Kalkulasi (Compounding): Meskipun pengeluaran harian kecil, jika dilakukan terus-menerus, akan menghasilkan jumlah yang besar dan bisa menjadi beban finansial yang signifikan jika tidak dikelola dengan bijak.
Beberapa langkah yang dapat diambil oleh Gen Z agar tidak terjebak dalam pemborosan adalah:
- Self-Control: Menjalani gaya hidup sederhana dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki.
- Menyusun Anggaran yang Ketat: Anggaran yang fleksibel bisa menyebabkan pengeluaran kecil menjadi membengkak tanpa disadari. Anggaran yang disiplin akan membantu mengontrol pengeluaran.
Dengan memperhatikan kebiasaan konsumtif seperti ini dan mengelolanya dengan baik, generasi muda bisa menghindari jebakan finansial yang merugikan di masa depan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS