Xenoglosofilia merupakan istilah yang merujuk pada ketertarikan atau kecintaan seseorang terhadap bahasa asing. Istilah xenoglosofilia berasal dari bahasa latin, yaitu xeno yang berarti “asing”, gloso yang berarti “bahasa”, dan filia yang berarti “suka”. Ivan Lanin dalam bukunya yang berjudul Xenoglosofilia: Kenapa Harus Nginggris? mengartikan xenoglosofilia sebagai kesukaan yang berlebihan terhadap bahasa asing. Orang dengan xenoglosofilia akan mencampurkan istilah-istilah bahasa asing ketika berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia.
Xenoglosofilia merupakan fenomena yang menarik dan amat kompleks. Meskipun banyak yang menganggap bahwa xenoglosofilia dapat mengancam eksistensi bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi dan bahasa resmi negara, ada sudut pandang lain yang patut untuk dipertimbangkan, yaitu dorongan untuk memahami dunia yang lebih luas.
Ketertarikan seseorang terhadap bahasa asing seringkali berkaitan dengan kebutuhan identitas. Di dunia yang makin modern dan makin memudarnya batas-batas negara, banyak individu yang merasa terasing atau bahkan kehilangan akar budaya mereka. Mempelajari bahasa asing menjadi salah satu cara untuk mencari jati diri atau bahkan menciptakan identitas baru. Yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah, pencarian jati diri ini bukan hanya tentang bahasa yang digunakan oleh individu, melainkan juga tentang menemukan tempat dalam komunitas global yang lebih besar.
Selain itu, dorongan seseorang untuk belajar bahasa asing juga dipengaruhi oleh norma sosial dan tekanan dari lingkungan sekitar. Pada budaya yang menilai kemampuan multibahasa sebagai sebuah prestasi, terdapat kecenderungan bahwa sebagai bagian dari komunitas, kita harus dapat berbicara lebih dari satu bahasa untuk dianggap kompeten dan layak untuk menjadi bagian dari komunitas tersebut. Dalam konteks ini, xenoglosofilia berperan sebagai kecenderungan sosial yang mendorong seseorang untuk mempelajari bahasa asing untuk mendapatkan pengakuan sosial dan status di masyarakat.
Xenoglosofilia juga dipengaruhi oleh persaingan globalisasi. Dalam banyak kasus, seseorang belajar bahasa asing bukan karena cinta, tetapi karena kebutuhan agar dapat bersaing di pasar kerja. Tidak sedikit orang yang merasa terpaksa belajar bahasa tertentu hanya untuk memenuhi tuntutan karir tanpa ada ketertarikan secara emosional terhadap bahasa atau budayanya. Dalam hal ini, ketertarikan yang timbul bukan berasal dari kecintaan seseorang terhadap bahas asing, melainkan dari keinginan untuk dapat bertahan dan beradaptasi dalam dunia yang terus berubah.
Berdasarkan paparan di atas, xenoglosofilia mencerminkan kompleksitas hubungan antara bahasa dan budaya. Ketertarikan seseorang terhadap bahasa asing tidak selalu didorong oleh rasa ingin tahu dan kecintaan yang besar terhadap bahasa tersebut. Ketertarikan seseorang terhadap bahasa asing tidak jarang dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, ekonomi, bahkan psikologis.
Faktor-faktor tersebut menunjukkan bahwa xenoglosofilia seringkali berakar pada tujuan praktis yang berkaitan dengan posisi sosial, status, dan pengaruh dalam masyarakat. Oleh karena itu, xenoglosofilia tidak hanya mencerminkan kecintaan seseorang terhadap suatu bahasa, tetapi juga bagaimana bahasa berfungsi dalam konstruksi sosial dan identitas budaya di tengah dinamika global yang terus berkembang.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.