Bukan satu-dua kali saya mendengar ungkapan yang menyatakan semakin banyak seseorang membaca buku, semakin banyak pula ilmu atau informasi baru masuk ke dalam laci pengetahuannya. Hal itu tampak pada rak bukunya yang penuh. Namun, benarkah seperti itu?
Beberapa purnama lalu, saya membaca sebuah buku yang berjudul The Cat Who Saved Books. Buku ini ditulis oleh Ssuke Natsukawa pada tahun 2017, yang kemudian diterjemahkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2023. Pembawaan yang ringan disertai tema yang menghangatkan perasaan membuat The Cat Who Saved Books dapat dibaca sekali duduk.
Tokoh utamanya bernama Natsuki Rintaro. Dia bertujuan menutup toko buku yang ditinggalkan oleh kakeknya. Namun, seekor kucing jenis tabby yang dapat berbicara tiba-tiba datang dan menggagalkan rencana itu. Kucing—yang mengaku bernama Tiger—tersebut meminta Rintaro untuk masuk ke dalam labirin dan menyelamatkan “buku-buku”. Tiger memilih Rintaro karena dia mewarisi toko buku dari kakeknya. Selain itu, Rintaro juga gemar membaca buku, sudah pasti wawasannya seluas samudra.
Salah satu petualangan Rintaro dan Tiger yang membekas dalam ingatan saya adalah ketika mereka memasuki labirin pertama, yaitu mansion milik seorang pria yang “memenjarakan” banyak buku. Mansionnya dideskripsikan dengan megah, menunjukkan kekayaan dan pengalaman di luar batas pemahaman manusia. Aula mansion dipenuhi oleh rak buku persis etalase toko, transparan tanpa ada celah yang kosong.
Ketika Pria Pemilik Mansion bertemu dengan Rintaro, dia merasa Rintaro membuang-buang waktunya yang berharga. Waktu yang dipakai untuk mengejar target membaca seratus buku dalam sebulan. Pria Pemilik Mansion mengeklaim bahwa pemimpin yang intelek akan selalu membaca buku. Menurutnya, membaca itu penting untuk memoles filosofi dan memperluas pengetahuan. Akan tetapi, Rintaro membantah pernyataan itu.
“Lalu, kenapa kau menyimpan buku-bukumu seperti itu? Kau memperlakukan mereka laiknya benda dalam museum. Kau mengunci mereka dengan gembok besar. Mereka bukumu, tetapi kau bahkan tidak bisa mendekati dan menyentuh mereka,” ujar Rintaro.
Pria Pemilik Mansion mulai geram. Tiada rasa malu, dia mengaku buku-buku itu hanya dibaca satu kali saja, bahkan menambahkan, “Hanya orang idiot yang membaca bukunya berkali-kali.” Bagi Pria Pemilik Mansion, membaca ulang buku sama dengan anomali, sesuatu yang tidak bisa dipahami ataupun dibayangkan. Ketidaksetujuannya kukuh.
Rintaro lantas menyudutkan Pria Pemilik Mansion, bahwa Pria Pemilik Mansion tidak benar-benar mencintai buku. Dia hanya mencintai dirinya sendiri, ingin terlihat baik dan berwawasan luas dari jumlah buku yang telah dibaca.
Dari cuplikan adegan itu, saya mengambil kesimpulan bahwa jumlah buku yang dibaca berada di tengah-tengah sisi sekaligus berwarna abu-abu. Mungkin ada yang berpikiran bacalah buku sebanyak-banyaknya demi menyaring pengetahuan baru. Mungkin pula ada yang berpikiran bacalah buku yang sama berkali-kali demi memahaminya lebih dalam. Keduanya sama-sama mempunyai kekurangan, baik itu dekatnya jarak antara pembaca dengan lupa maupun jauhnya jarak antara pembaca dengan wawasan baru.
Banyaknya sela-sela rak yang diisi oleh buku tidak serta-merta menunjukkan karakter seseorang. Bisa saja buku-buku itu hanya dibaca satu kali kemudian dilupakan. Bisa pula buku-buku itu tidak pernah disentuh dan hanya diam bagai pajangan. Tidak ada yang tahu selain pemiliknya. Dengan demikian, ada baiknya asumsi-asumsi tersebut tidak diucap dengan lantang.