Perlindungan Kesehatan Mental Anak: Kapan akan Jadi Prioritas?

Hayuning Ratri Hapsari | Alfino Hatta
Perlindungan Kesehatan Mental Anak: Kapan akan Jadi Prioritas?
Ilustrasi sekolah ramah anak yang menyenangkan. (unsplash.com/husniatisalma)

Indonesia sedang menghadapi gelombang diam-diam yang mengancam masa depan bangsa: krisis kesehatan mental anak dan remaja.

Faktor global seperti pandemi, perubahan iklim, ketidakstabilan ekonomi, serta ledakan teknologi digital telah menciptakan "tsunami stres" bagi generasi Z dan Alpha.

Data dari Kementerian Kesehatan (2023) menunjukkan bahwa 1 dari 3 remaja Indonesia mengalami gejala depresi, sementara 40% siswa SMP-SMA dilaporkan mengalami kecemasan berat akibat tekanan akademik dan sosial.

Tragisnya, kasus bunuh diri di kalangan usia 15-24 tahun meningkat 25% dalam lima tahun terakhir, seperti tercermin dalam insiden memilukan di Jakarta, Bandung, dan Surabaya.

Faktor Pemicu: Dari "Gengsi" Akademik hingga Kejamnya Dunia Maya

1. Tekanan Sistem Pendidikan yang Tidak Humanis

Sistem pendidikan Indonesia yang obsesif pada nilai dan ranking telah menjadikan sekolah sebagai "medan perang psikologis".

Seorang siswa SMA di Bandung, misalnya, memutuskan mengakhiri hidup setelah nilai UTBK-nya tidak memenuhi harapan orang tua. Budaya toxic productivity—yang mengagungkan kesuksesan instan—telah mengikis nilai-nilai holistik dalam pendidikan.

2. Perundungan: Dari Koridor Sekolah ke Jagat Maya

Cyberbullying kini menjadi ancaman laten. Kasus seorang remaja 13 tahun di Surabaya yang bunuh diri setelah dihina di media sosial menggambarkan betapa kejamnya dunia digital bagi generasi yang belum siap secara emosional.

3. Keluarga: Antara Ekspektasi Tinggi dan Komunikasi Retak

Banyak orang tua masih menganggap kesehatan mental sebagai "drama generasi muda". Alih-alih menjadi penopang, keluarga justru menjadi sumber tekanan. "Kamu harus jadi dokter!" atau "Nilaimu jelek, malu sama tetangga!" adalah kalimat yang kerap merusak kepercayaan diri remaja.

4. Perubahan Iklim dan Ketidakpastian Global

Ancaman krisis iklim dan resesi ekonomi menciptakan "kecemasan masa depan" yang menggerogoti mental remaja. Survei UNICEF (2023) menunjukkan 60% anak muda Indonesia merasa putus asa tentang masa depan planet dan karier mereka.

Dampak Sistemik: Mengapa Ini Ancam Masa Depan Indonesia?

1. Kerugian Sumber Daya Manusia

Anak-anak dengan gangguan mental cenderung mengalami kesulitan belajar, yang berujung pada rendahnya kualitas SDM. Menurut Bank Dunia (2023), Indonesia kehilangan potensi produktivitas hingga Rp 500 triliun per tahun akibat krisis ini.

2. Ancaman bagi Visi Indonesia Emas 2045

Generasi yang tumbuh dalam tekanan psikososial akan kesulitan bersaing di era revolusi industri 4.0. Tanpa intervensi, target menjadi negara maju pada 2045 hanya akan jadi mimpi.

3. Bom Waktu Sosial

Kesehatan mental yang diabaikan berpotensi memicu peningkatan kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan konflik sosial—masalah yang akan membebani APBN dan stabilitas nasional.

Kebijakan dan Tantangan: Di Mana Indonesia Sekarang?

1. Minimnya Infrastruktur Kesehatan Mental

Dengan hanya 2.500 psikolog untuk 270 juta penduduk, Indonesia berada jauh di bawah standar WHO. Di sekolah, 1 guru BK harus melayani hingga 1.000 siswa—angka yang absurd dibandingkan standar ideal 1:150.

2. Stigma dan Budaya "Diam Saja"

Banyak keluarga lebih memilih "menyembunyikan" masalah mental anak ketimbang mencari bantuan profesional. Di daerah pedesaan, gangguan mental masih dianggap "kutukan" atau "ujian takdir".

3. Fragmentasi Sistem Kesehatan

Layanan kesehatan mental terpusat di kota besar, sementara daerah terpencil seperti Papua atau NTT nyaris tidak memiliki akses.

Transformasi Layanan: Peran Strategis Lembaga Pemerintah

Untuk mengatasi krisis ini, lembaga pemerintah Indonesia perlu melakukan langkah-langkah berikut:

1. Reformasi Sistem Pendidikan

  • Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi harus merevisi kurikulum untuk memasukkan pendidikan kesehatan mental dan keterampilan sosioemosional.
  • Setiap sekolah wajib memiliki klinik kesehatan mental sederhana dan memperbanyak jumlah guru BK sesuai standar WHO.

2. Perluasan Akses Layanan Kesehatan Mental

  • Kementerian Kesehatan perlu melatih 10.000 tenaga kesehatan mental baru (psikolog, psikiater, konselor) dalam 5 tahun ke depan.
  • Program telekonseling nasional berbasis teknologi untuk menjangkau daerah terpencil.

3. Regulasi dan Kampanye Anti-Stigma

  • Kementerian Sosial dan Kementerian Hukum dan HAM harus menyusun UU yang melindungi hak penyandang gangguan mental dan mengkriminalisasi perundungan.
  • Kampanye nasional "Bicara Itu Hebat" untuk mengubah persepsi masyarakat tentang kesehatan mental.

4. Kolaborasi Multisektoral

  • Kementerian Komunikasi dan Informatika bermitra dengan platform digital untuk memantau konten berbahaya dan meningkatkan literasi digital.
  • Kementerian Desa, PDTT mengalokasikan dana desa untuk program kesehatan mental di tingkat komunitas.

Krisis kesehatan mental bukan lagi masalah individu, melainkan ancaman eksistensial bagi Indonesia. Dengan kerja sama antarlembaga pemerintah, ada peluang untuk menjadikan kesehatan mental sebagai prioritas nasional, setara dengan infrastruktur atau ketahanan pangan.

Generasi muda yang sehat mental adalah kunci untuk mengubah Indonesia dari "negara berkembang" menjadi kekuatan global yang berdaulat dan berkelanjutan.

Mari berhenti menganggap mental sebagai "barang mewah". Jiwa-jiwa sehat adalah pondasi Indonesia Emas 2045.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak