Cyberslacking, Musuh dalam Selimut bagi Mahasiswa di Era Digital

Hikmawan Firdaus | Rion Nofrianda
Cyberslacking, Musuh dalam Selimut bagi Mahasiswa di Era Digital
Ilustrasi kegiatan cyberslacking saat kelas berlangsung (Pixabay)

Dalam era digital yang semakin maju, penggunaan internet telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Internet menawarkan kemudahan dalam mengakses informasi, berkomunikasi, hingga menunjang berbagai aktivitas akademik dan profesional. Namun, di sisi lain, internet juga membawa dampak negatif, salah satunya adalah perilaku cyberslacking, yang kini menjadi fenomena umum di kalangan mahasiswa.

Cyberslacking adalah aktivitas mengakses internet untuk kepentingan non-akademik selama jam belajar atau kuliah. Perilaku ini sering kali mencakup browsing media sosial, menonton video, membaca berita, atau bahkan berbelanja online saat seharusnya fokus pada kegiatan akademik. Awalnya, istilah ini banyak digunakan dalam konteks dunia kerja, namun kini telah meluas ke lingkungan pendidikan, terutama di perguruan tinggi.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Tyas dan Rozi (2024) dari Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka menganalisis pengaruh self-regulated learning dan prestasi akademik terhadap perilaku cyberslacking di kalangan mahasiswa Indonesia. Dengan melibatkan 367 mahasiswa sebagai responden, penelitian ini mengungkap berbagai temuan menarik tentang bagaimana self-regulated learning berperan dalam mengendalikan perilaku cyberslacking.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa self-regulated learning memiliki pengaruh yang signifikan terhadap cyberslacking. Mahasiswa yang memiliki kemampuan self-regulated learning yang baik cenderung lebih mampu mengontrol penggunaan internet mereka dan lebih fokus pada kegiatan akademik. Sebaliknya, mereka yang memiliki self-regulated learning yang rendah lebih rentan terhadap gangguan digital dan lebih sering terlibat dalam cyberslacking. Ini menunjukkan bahwa kemampuan untuk mengatur diri sendiri dalam belajar sangat berperan dalam menghindari godaan penggunaan internet yang tidak produktif.

Namun, yang menarik adalah temuan bahwa prestasi akademik tidak secara langsung mempengaruhi perilaku cyberslacking. Ini berarti bahwa mahasiswa dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) tinggi tidak serta-merta lebih disiplin dalam penggunaan internet dibandingkan dengan mereka yang memiliki IPK lebih rendah. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh berbagai faktor lain, seperti tekanan akademik, kebiasaan belajar, atau bahkan preferensi individu dalam mengelola waktu.

Lebih lanjut, penelitian ini menemukan bahwa secara simultan, self-regulated learning dan prestasi akademik bersama-sama berkontribusi terhadap cyberslacking sebesar 23%. Ini mengindikasikan bahwa meskipun prestasi akademik tidak memiliki pengaruh langsung, kombinasi dengan self-regulated learning tetap berperan dalam membentuk pola perilaku mahasiswa dalam penggunaan internet selama aktivitas akademik.

Fenomena cyberslacking ini tidak dapat dipandang remeh. Dalam konteks pembelajaran, cyberslacking dapat mengganggu proses akademik dan menghambat pencapaian hasil belajar yang optimal. Mahasiswa yang terlalu sering melakukan cyberslacking berisiko kehilangan fokus selama kuliah, mengurangi pemahaman terhadap materi, serta menurunkan efektivitas waktu belajar mereka. Dalam jangka panjang, hal ini dapat berdampak negatif pada kemampuan akademik dan profesional mereka di masa depan.

Dalam era Society 5.0, di mana akses internet semakin mudah dan teknologi semakin canggih, tantangan untuk menghindari cyberslacking semakin besar. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan peningkatan signifikan dalam jumlah pengguna internet di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2022, sekitar 66,48% penduduk Indonesia telah mengakses internet, dan angka ini terus meningkat setiap tahunnya. Dengan dominasi generasi muda dalam populasi pengguna internet, mahasiswa menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap dampak negatif penggunaan internet yang tidak terkendali.

Survei yang dilakukan oleh Sucipto dan Purnamasari (2020) mengungkap bahwa hanya 14,8% mahasiswa yang benar-benar menggunakan internet di kelas untuk tujuan akademik, sementara 85,2% lainnya lebih banyak menggunakannya untuk hal-hal di luar akademik. Ini menunjukkan bahwa kebiasaan cyberslacking telah menjadi fenomena yang meluas di lingkungan pendidikan tinggi.

Cyberslacking tidak hanya dipengaruhi oleh faktor individu, tetapi juga oleh faktor lingkungan dan sosial. Dalam kelas, misalnya, ketersediaan akses internet tanpa pengawasan yang ketat dapat meningkatkan kecenderungan mahasiswa untuk melakukan cyberslacking. Selain itu, norma sosial dan kebiasaan teman sebaya juga dapat memainkan peran penting dalam menentukan seberapa besar seorang mahasiswa akan terlibat dalam cyberslacking. Jika lingkungan sekitarnya mendukung penggunaan internet untuk hal-hal non-akademik selama perkuliahan, maka perilaku ini akan semakin sulit dikendalikan.

Blanchard dan Henle (2008) membagi cyberslacking menjadi dua kategori, yaitu cyberslacking minor dan major. Cyberslacking minor mencakup aktivitas seperti membaca berita, mengirim email pribadi, atau browsing media sosial secara pasif. Sementara itu, cyberslacking major melibatkan aktivitas yang lebih intensif seperti online gambling, mengelola blog pribadi, hingga mengunduh konten secara ilegal. Dalam konteks akademik, baik cyberslacking minor maupun major dapat mengurangi produktivitas dan mengalihkan perhatian mahasiswa dari proses belajar yang seharusnya berlangsung.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan strategi yang efektif, baik dari sisi mahasiswa maupun institusi pendidikan. Mahasiswa perlu meningkatkan self-regulated learning mereka agar lebih mampu mengontrol penggunaan internet dan menghindari distraksi digital yang tidak perlu. Teknik seperti menetapkan tujuan belajar yang jelas, mengatur waktu dengan baik, serta menggunakan aplikasi pembatas waktu untuk akses media sosial dapat membantu mereka dalam mengelola aktivitas daring dengan lebih bijak.

Dari sisi institusi pendidikan, diperlukan kebijakan yang lebih ketat dalam mengatur penggunaan perangkat digital di dalam kelas. Misalnya, dosen dapat menerapkan aturan yang lebih tegas terkait penggunaan ponsel dan laptop selama perkuliahan. Selain itu, menciptakan lingkungan belajar yang interaktif dan menarik juga dapat membantu mengurangi kecenderungan mahasiswa untuk melakukan cyberslacking. Jika mahasiswa merasa bahwa materi yang disampaikan di kelas menarik dan relevan, mereka akan lebih fokus dan tidak mudah tergoda untuk beralih ke aktivitas online yang tidak berkaitan dengan akademik.

Selain itu, pendekatan psikologis juga dapat diterapkan untuk mengurangi cyberslacking. Misalnya, dengan meningkatkan kesadaran mahasiswa tentang dampak negatif cyberslacking terhadap prestasi akademik mereka, serta memberikan dukungan bagi mereka yang kesulitan mengelola waktu dan fokus belajar. Institusi pendidikan juga dapat mengadakan seminar atau pelatihan terkait manajemen waktu dan strategi self-regulated learning agar mahasiswa lebih siap menghadapi tantangan belajar di era digital.

Kesimpulannya, cyberslacking merupakan fenomena yang semakin marak terjadi di kalangan mahasiswa, terutama dengan meningkatnya akses internet dan perkembangan teknologi. Meskipun perilaku ini sulit untuk dihindari sepenuhnya, langkah-langkah preventif dapat dilakukan untuk mengurangi dampaknya terhadap prestasi akademik. Dengan meningkatkan self-regulated learning, menerapkan kebijakan penggunaan internet yang lebih bijak, serta menciptakan lingkungan belajar yang lebih menarik, diharapkan mahasiswa dapat lebih fokus pada kegiatan akademik dan mengurangi kebiasaan cyberslacking. Dengan demikian, mereka dapat memanfaatkan teknologi secara lebih produktif dan mencapai hasil belajar yang lebih optimal di tengah tantangan era digital yang semakin kompleks.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak