Pendidikan pada masa penjajahan Belanda bukan sekadar alat penyebaran ilmu, tetapi instrumen politik untuk mempertahankan hegemoni kolonial. Sistem pendidikan kolonial, yang bersifat intelektualistis, individualistis, dan materialistis, sengaja dirancang untuk melemahkan jiwa rakyat Indonesia, memutuskan mereka dari identitas budaya dan semangat kebangsaan.
Ki Hadjar Dewantara, melalui pendirian Perguruan Nasional Tamansiswa pada 3 Juli 1922, menghadirkan antitesis berani terhadap pendekatan kolonial. Dengan “Sistem Among,” ia tidak hanya mereformasi pendidikan, tetapi juga menjadikan ruang kelas sebagai medan perjuangan untuk menanamkan semangat kemerdekaan dan kebangsaan. Meskipun warisannya kini memudar akibat arus pragmatisme modern, gagasan Ki Hadjar tetap relevan sebagai inspirasi untuk membangun pendidikan yang berakar pada budaya Indonesia.
Dari Politik ke Pendidikan: Perjalanan Ki Hadjar
Ki Hadjar Dewantara, lahir sebagai Soewardi Soerjaningrat pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta, adalah cucu Paku Alam III dan pelopor pendidikan nasional. Hari kelahirannya diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional sejak 1959. Ia menempuh pendidikan di pesantren Kalasan, ELS, Kweesschool, dan STOVIA—tempat lahirnya Boedi Oetomo. Karena perbedaan visi, ia keluar dari Boedi Oetomo pada 1910 dan bersama Tjipto Mangunkusumo serta Douwes Dekker mendirikan Indische Partij pada 6 September 1912, partai pertama yang secara terbuka menyerukan kemerdekaan.
Sebagai wartawan, Ki Hadjar Dewantara mengkritik kolonialisme melalui media seperti Sedio Tomo, Midden Java, dan De Express. Puncak perlawanan terjadi pada 1913, ketika ia menulis artikel "Als Ik Eens Nederlander Was" di De Express, yang memprotes rencana perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda yang membebani rakyat jajahan.
Artikel ini memicu kemarahan Belanda dan pelarangan IP. Pengalaman ini memperkuat keyakinannya bahwa pendidikan adalah alat untuk membangun kesadaran nasional. Pada 1922, ia mendirikan Tamansiswa dengan kurikulum berbasis budaya lokal sebagai perlawanan intelektual terhadap penjajahan.
Sistem Among: Fondasi Pendidikan Berbasis Budaya
Menurut Yayasan Taman Siswa, sistem pendidikan kolonial bertujuan mencetak individu yang tunduk pada kepentingan kolonial, mengabaikan nilai-nilai budaya lokal, dan memprioritaskan kecerdasan intelektual semata. Ki Hadjar, melalui Sistem Among, menawarkan pendekatan alternatif yang berfokus pada perkembangan holistik anak—kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Terinspirasi oleh kerja petani (among tani), yang memelihara tanaman sesuai kodratnya tanpa paksaan, Ki Hadjar mengembangkan model pendidikan yang menghormati kodrat alam murid. Guru, sebagai pamong, berperan membimbing dari belakang, sesuai semboyan Tut Wuri Handayani—mempengaruhi tanpa mendominasi, memberikan kebebasan kepada murid untuk berkembang secara alami.
Sistem Among bertumpu pada tiga pilar utama: kodrat alam, kemerdekaan, dan kekeluargaan. Pertama, kodrat alam menekankan bahwa pendidikan harus selaras dengan hukum alam dan budaya bangsa. Menurut Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dalam publikasi Kurikulum Merdeka: Pendidikan Berbasis Budaya, pendekatan berbasis budaya seperti Sistem Among relevan untuk membangun karakter siswa yang berakar pada identitas nasional.
Ki Hadjar menolak pendekatan kolonial yang memaksakan perintah, hukuman, dan ketertiban, karena dianggap merusak jiwa anak. Guru sebagai pamong bertugas menyingkirkan hambatan dan memfasilitasi perkembangan sesuai potensi masing-masing murid, memastikan pendidikan tidak bertentangan dengan kodrat anak Indonesia.
Kedua, kemerdekaan dalam Sistem Among bertujuan membentuk individu yang merdeka secara batin, pikiran, dan tenaga. Pasal 2 Asas Tamansiswa 1922 menekankan pentingnya belajar mandiri, sadar diri, dan bebas dari tekanan luar. Kemerdekaan ini mencakup berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain, dan mampu mengatur diri. Menurut Indonesia Heritage Foundation, pendekatan ini sejalan dengan pendidikan abad ke-21 yang menekankan kemandirian, kreativitas, dan berpikir kritis.
Ketiga, kekeluargaan mencerminkan hubungan harmonis antara guru dan murid, dilandasi cinta kasih, saling menghormati, dan solidaritas nasional. Di Tamansiswa, pendidikan bersifat kolaboratif, bukan hierarkis, memperkuat ikatan kemanusiaan. Kurikulumnya mencakup ilmu, budaya, kebangsaan, sejarah, seni, dan olahraga seperti pencak silat, untuk membentuk karakter bangsa yang merdeka dan berbudaya. Menurut Yayasan Taman Siswa, pendekatan ini melahirkan generasi cerdas, peka sosial, dan nasionalis yang turut berjuang demi kemerdekaan.
Tantangan dan Amnesia Kolektif
Warisan Ki Hadjar dan Sistem Among seharusnya menjadi fondasi pendidikan Indonesia modern. Namun, seperti disinggung oleh Darmaningtyas dan Iwan Pranoto, jejak Tamansiswa kini memudar.
Pendidikan saat ini cenderung mengadopsi modernisme Barat ala Sutan Takdir Alisjahbana, yang menekankan pragmatisme dan fungsionalitas, alih-alih semangat kebangsaan dan budaya lokal yang diperjuangkan Ki Hadjar dan Engku Mohammad Syafei. Mengutip Kemendikbudristek, kurikulum pendidikan nasional masih belum sepenuhnya mengintegrasikan nilai-nilai budaya lokal, menyebabkan pendidikan tercerabut dari realitas sosial dan budaya Indonesia, sehingga gagal membentuk identitas nasional yang kuat.
Amnesia kolektif ini diperparah oleh globalisasi dan arus pragmatisme yang mendominasi kebijakan pendidikan. Menurut Indonesia Heritage Foundation, hanya 15% sekolah di Indonesia yang secara konsisten mengintegrasikan nilai-nilai budaya lokal dalam kurikulumnya, sebuah angka yang mencerminkan minimnya perhatian terhadap warisan pendidikan nasionalis.
Padahal, pendidikan berbasis budaya dan kebangsaan, seperti yang dicontohkan Ki Hadjar, tetap relevan untuk membangun identitas nasional di tengah tantangan global. Sistem Among menawarkan model pendidikan holistik yang tidak hanya mencetak individu cerdas, tetapi juga manusia merdeka yang sadar akan akar budayanya. Ide-ide visioner Ki Hadjar seharusnya terus hidup dalam praktik pendidikan, bukan dibiarkan terkubur oleh arus modernisasi yang serba pragmatis.
Revitalisasi Warisan Ki Hadjar
Untuk menghidupkan kembali semangat Ki Hadjar, dibutuhkan upaya sistematis dari berbagai pihak. Kurikulum Merdeka mulai mengintegrasikan pendekatan berbasis budaya, namun implementasinya masih terbatas, terutama di daerah terpencil. Yayasan Taman Siswa merekomendasikan pelatihan guru agar memahami dan menerapkan Sistem Among, serta pengembangan modul yang memuat nilai kebangsaan dan budaya lokal. Pelatihan ini bisa berupa workshop pendekatan holistik, yang menyeimbangkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik seperti dicontohkan Tamansiswa.
Selain itu, menurut Indonesia Heritage Foundation, kolaborasi antara pemerintah, organisasi non-profit, dan komunitas lokal penting untuk mendokumentasikan dan mempopulerkan warisan pendidikan nasionalis seperti Tamansiswa. Program seperti festival budaya, pameran sejarah pendidikan, dan publikasi digital tentang Ki Hadjar dapat meningkatkan kesadaran masyarakat. Pemerintah juga dapat mendukung revitalisasi ini dengan mengintegrasikan nilai-nilai Sistem Among ke dalam kebijakan pendidikan nasional, misalnya melalui mata pelajaran yang menekankan sejarah perjuangan kemerdekaan dan budaya lokal.
Ki Hadjar Dewantara dan Engku Mohammad Syafei membuktikan bahwa ruang kelas bisa menjadi medan perjuangan membangun bangsa. Lewat Tamansiswa dan Sistem Among, mereka menanamkan semangat kebangsaan, kemerdekaan, dan kepekaan budaya. Di tengah pendidikan modern yang pragmatis, kita diajak menghidupkan kembali semangat mereka—dengan kembali ke akar budaya, ruang kelas bisa menjadi titik tolak bangsa yang merdeka dan berbudaya.
Daftar Referensi Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa
1. Buku
- Karja I (Pendidikan)
Penulis: Ki Hadjar Dewantara
Penerbit: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa
Tahun: 1962
Deskripsi: Buku ini merupakan karya awal Ki Hadjar yang membahas prinsip-prinsip pendidikan nasionalis melalui Taman Siswa.
- Asas-asas dan dasar-dasar Taman Siswa (Cetakan Ketiga)
Penulis: Ki Hadjar Dewantara
Penerbit: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa
Tahun: 1964
Tautan: Tidak tersedia secara online, dapat ditemukan di perpustakaan atau melalui Tamansiswa Pusat.
Deskripsi: Buku ini merinci asas-asas pendidikan Taman Siswa, termasuk konsep Sistem Among.
- Bagian Pertama: Pendidikan
Penulis: Ki Hadjar Dewantara
Penerbit: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa
Tahun: 1977
Tautan: Tidak tersedia secara online, dapat ditemukan di perpustakaan atau melalui Tamansiswa Pusat.
Deskripsi: Buku ini mengelaborasi pemikiran Ki Hadjar tentang pendidikan holistik dan kebangsaan.
- Menuju Manusia Merdeka
Penulis: Ki Hadjar Dewantara
Penerbit: Leutika
Tahun: 2009
Deskripsi: Buku ini menekankan visi Ki Hadjar tentang manusia merdeka melalui pendidikan.
- Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan
Penulis: Ki Hadjar Dewantara
Penerbit: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa
Tahun: 2013
Tautan: Tidak tersedia secara online, dapat ditemukan di perpustakaan atau melalui Tamansiswa Pusat.
Deskripsi: Edisi terbaru dari karya Ki Hadjar yang merangkum pemikirannya tentang pendidikan.
2. Artikel Akademik
- The National Heritage of Ki Hadjar Dewantara in Taman Siswa About Culture-Based Education and Learning
Penulis: Siti M. Towaf
Sumber: Neliti
Tautan: The National Heritage
Deskripsi: Artikel ini mengeksplorasi konsep pendidikan berbasis budaya Ki Hadjar dan fenomena stagnasi Taman Siswa.
- KONSEP PEMIKIRAN KI HADJAR DEWANTARA DALAM PENDIDIKAN TAMAN SISWA (Tinjauan Humanis-Religius)
Penulis: Dyah Kumalasari
Sumber: ResearchGate
Deskripsi: Artikel ini menganalisis pemikiran Ki Hadjar dari perspektif humanis-religius, menyoroti ketahanan Taman Siswa.
3. Dokumen dan Koleksi
- Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern
Sumber: Museum Pendidikan Indonesia
Deskripsi: Buku ini menjelaskan peran Taman Siswa dalam pergerakan nasional dan respons terhadap pendidikan kolonial.
- Buku Ki Hajar Dewantara
Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Deskripsi: Dokumen resmi dari Kemdikbud yang merangkum kontribusi Ki Hadjar dalam pendidikan nasional.
- Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Tantangan-Tantangan Implementasinya di Indonesia
Sumber: Neliti
Deskripsi: Dokumen ini membahas tantangan menerapkan pemikiran Ki Hadjar di era modern.