Politika Sekolah: Warisan Ki Hadjar Dewantara dalam Transformasi Pendidikan

Hernawan | Alfino Hatta
Politika Sekolah: Warisan Ki Hadjar Dewantara dalam Transformasi Pendidikan
Latihan olahraga siswa Taman Siswa (Standengymnastics) (Circa 1930) — (Koleksi istimewa Museum Dewantara Kirti Griya)

Pendidikan adalah fondasi utama dalam membangun peradaban bangsa. Ki Hadjar Dewantara muncul sebagai tokoh sentral dalam merintis pendidikan nasional yang berorientasi pada kebangsaan, kesetaraan, dan kemanusiaan. Dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar—lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat—mendirikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922 sebagai bentuk perlawanan terhadap pendidikan kolonial yang elitis. Melalui lembaga ini, ia menawarkan pendekatan pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga memerdekakan batin.

Perjalanan Hidup dan Gagasan Pendidikan

Dilahirkan di Yogyakarta pada 2 Mei 1889, Ki Hadjar tumbuh dalam keluarga bangsawan yang memberinya akses ke pendidikan Barat. Namun, keberpihakannya pada kaum tertindas mendorongnya menjadi aktivis yang kritis terhadap kebijakan kolonial. Ia diasingkan ke Belanda pada 1913 karena menulis kritik terhadap perayaan kemerdekaan Belanda yang mengabaikan penderitaan rakyat jajahan. Pengasingan ini menjadi titik balik penting dalam pembentukan gagasan pendidikannya.

Sekembali ke tanah air, ia mendirikan Taman Siswa sebagai upaya menyediakan pendidikan yang merakyat dan membebaskan. Lembaga ini menolak kurikulum kolonial dan menekankan nilai-nilai budaya lokal, nasionalisme, dan pembentukan karakter. Hingga 1930, Taman Siswa telah memiliki lebih dari 60 cabang di seluruh Indonesia. Bahkan ketika pemerintah Belanda mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1932, Ki Hadjar tetap teguh mempertahankan keberadaan lembaganya melalui dukungan masyarakat dan advokasi yang kuat.

Trilogi Kepemimpinan sebagai Panduan Pendidikan

Salah satu warisan intelektual terbesar Ki Hadjar adalah trilogi kepemimpinan: Ing Ngarso Sung Tuladha (di depan memberi teladan), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah membangun semangat), dan Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan). Tiga prinsip ini menjadi kerangka filosofis dalam hubungan antara guru dan murid, serta pemimpin dan masyarakat.

Ajaran ini membentuk paradigma bahwa guru bukan hanya penyampai ilmu, tetapi juga pembentuk karakter dan pemimpin transformasi. Laporan Kemendikbudristek menyebutkan bahwa prinsip ini telah diintegrasikan dalam Kurikulum Merdeka dan pelatihan kepala sekolah. Yayasan Indonesia Mengajar juga melaporkan peningkatan motivasi belajar hingga 30% di sekolah-sekolah terpencil yang menerapkan prinsip ini.

Pendidikan yang Memanusiakan Manusia

Ki Hadjar membedakan antara pengajaran (onderwijs) dan pendidikan (opvoeding). Pengajaran fokus pada aspek kognitif, sedangkan pendidikan menekankan pembentukan watak, martabat, dan kemandirian berpikir. Dalam praktiknya, Taman Siswa menekankan pengembangan otonomi diri dan kecintaan terhadap budaya lokal.

Inovasi unik Ki Hadjar seperti “kelas tiga dinding” mencerminkan keterbukaan pendidikan terhadap realitas sosial. Ia menolak ruang kelas tertutup yang memisahkan siswa dari kehidupan nyata. Konsep ini diterapkan dalam kegiatan seperti karya wisata dan proyek berbasis komunitas. Pendekatan ini kini diadopsi dalam program Sekolah Penggerak yang mendorong pembelajaran kontekstual dan berbasis pengalaman.

Pendidikan dalam pandangan Ki Hadjar bersifat humanistik—menjadikan siswa sebagai manusia seutuhnya, bukan sekadar mesin akademik. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menekankan pendidikan berkarakter dan berbasis nilai.

Kolaborasi Strategis dan Implementasi Nyata

Ki Hadjar tidak bekerja sendiri. Ia menjalin kolaborasi dengan lembaga seperti Badan Pendidikan Masyarakat dan organisasi sosial yang mendukung pendidikan rakyat. Setelah kemerdekaan, prinsip-prinsip Taman Siswa diadopsi dalam kebijakan pendidikan nasional. Kemendikbudristek terus mengembangkan program seperti Guru Penggerak yang berlandaskan trilogi kepemimpinan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Organisasi nirlaba seperti Yayasan Indonesia Mengajar juga memainkan peran penting dalam menerjemahkan warisan Ki Hadjar ke dalam praktik di lapangan. Program pelatihan guru yang mereka jalankan telah meningkatkan hasil belajar di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) hingga 25%. Yayasan Taman Siswa pun aktif melestarikan ajaran Ki Hadjar melalui sekolah-sekolah dan seminar kebudayaan.

Pendekatan dalam Era Globalisasi

Di tengah arus globalisasi dan digitalisasi, pendidikan sering kali terjebak dalam kompetisi dan standarisasi. Dalam situasi ini, warisan Ki Hadjar menawarkan pendekatan alternatif yang berbasis nilai, budaya, dan kontekstualitas.

Konsep tiga dinding menjadi sangat relevan di era pembelajaran daring, di mana keterhubungan dengan dunia nyata semakin berkurang. Program berbasis pengalaman seperti proyek komunitas dan pelatihan kewirausahaan dapat menjembatani kesenjangan ini.

Trilogi kepemimpinan juga menjadi fondasi penting dalam pendidikan karakter. Di era di mana empati dan tanggung jawab sosial menjadi kebutuhan mendesak, ajaran Ki Hadjar mampu menjawab tantangan tersebut. Studi Kemendikbudristek tentang pendidikan karakter menunjukkan bahwa sekolah yang menerapkan prinsip Tut Wuri Handayani mengalami penurunan kasus kekerasan dan peningkatan empati siswa.

Tantangan dan Peluang

Meskipun warisan Ki Hadjar tetap relevan, implementasinya masih menghadapi tantangan besar, mulai dari infrastruktur yang belum merata, keterbatasan pelatihan guru, hingga tekanan globalisasi yang menggeser fokus pendidikan ke arah teknokratisme.

Namun, peluang untuk berinovasi terbuka luas. Digitalisasi dapat digunakan untuk menyebarkan nilai-nilai Ki Hadjar melalui platform daring. Program seperti Kurikulum Merdeka dan Sekolah Penggerak menunjukkan komitmen pemerintah terhadap pendekatan yang lebih inklusif dan kontekstual. Kemitraan dengan organisasi nirlaba, sektor swasta, dan lembaga internasional juga dapat memperluas jangkauan pengaruh ajaran Ki Hadjar.

Warisan Ki Hadjar Dewantara merupakan fondasi penting dalam membentuk karakter pendidikan Indonesia. Melalui Taman Siswa, trilogi kepemimpinan, dan konsep pendidikan yang memanusiakan manusia, ia telah meletakkan dasar bagi sistem pendidikan yang inklusif, berbasis nilai, dan relevan dengan kebutuhan zaman.

Di tengah tantangan globalisasi, ajarannya tetap menjadi kompas moral dan pedagogis yang membimbing pendidikan nasional menuju masa depan yang berkeadilan, berbudaya, dan berperikemanusiaan. Kini, tugas Anda sebagai bagian dari bangsa ini adalah memastikan bahwa warisan tersebut terus hidup—dalam kebijakan, praktik, dan terutama dalam hati nurani setiap pendidik dan pelajar Indonesia.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak