Pendidikan di Indonesia punya cerita panjang. Dulu, sekolah seperti Taman Siswa yang dibuat oleh Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1922 menjadi simbol perjuangan melawan penjajah Belanda.
Taman Siswa mengajarkan anak-anak untuk bangga menjadi orang Indonesia dan berani melawan ketidakadilan. Sekarang, pendidikan lebih fokus pada lulus Ujian Nasional (UN) atau Asesmen Nasional (AN), yang kadang hanya tentang nilai dan angka, bukan membentuk karakter.
Taman Siswa: Sekolah yang Mengajarkan Perjuangan
Di zaman Belanda, Taman Siswa adalah sekolah yang istimewa. Didirikan di Yogyakarta, sekolah ini tidak hanya mengajarkan baca-tulis, tetapi juga keberanian, moral, dan rasa cinta pada Indonesia. Anak-anak pribumi belajar untuk bangga dengan budaya mereka. Karena pendekatannya yang kuat, Taman Siswa sangat disukai masyarakat Jawa, tapi juga membuat pemerintah Belanda khawatir. Mereka takut anak-anak dan guru di Taman Siswa akan memberontak.
Pemerintah Belanda lalu membuat aturan ketat. Lewat Staatblad 1933 No. 66 Ayat 4, guru Taman Siswa harus melaporkan apa yang mereka ajarkan. Ada juga Wilden Scholen Ordonnantie 1923 (Staatblad 1923 No. 136) yang memeriksa sekolah-sekolah “liar” seperti Taman Siswa, termasuk latar belakang guru dan tujuan pengajaran. Pada 1932, Onderwijs-Ordonnantie (berlaku 1 Oktober 1932) membuat pengawasan lebih keras lagi, dengan ancaman menutup sekolah yang melanggar aturan, seperti tertulis di ayat 14.
Bagi Ki Hadjar Dewantara, aturan ini sangat berbahaya. Pengajaran tentang perjuangan kemerdekaan bisa membuat Taman Siswa ditutup. Makanya, Ki Hadjar dan para pemimpin Taman Siswa mengadakan rapat untuk merencanakan cara melawan aturan ini. Taman Siswa bukan cuma sekolah, tapi tempat anak-anak dipersiapkan untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Ujian Nasional: Dari Ukur Prestasi ke Beban Nilai
Sekarang, pendidikan di Indonesia lebih fokus pada Ujian Nasional (UN), yang dimulai pada 1984 untuk siswa SMA. UN dibuat untuk melihat seberapa baik pendidikan di seluruh Indonesia. Tapi, seperti Taman Siswa yang diawasi Belanda, UN juga punya masalah, seperti kecurangan, akses yang tidak sama, dan pertanyaan apakah ujian ini benar-benar penting.
Pada 1994, UN diperluas ke SMP, tapi masalah seperti kecurangan masih ada. Pada 2004, UN berbasis komputer (CBT) dicoba untuk mengurangi kecurangan dan mempercepat hasil. Sayangnya, banyak daerah terpencil tidak punya komputer atau internet, jadi sulit dilaksanakan. Ketika Kurikulum 2013 diterapkan pada 2013, UN diubah untuk mengukur kemampuan berpikir, bukan hafalan. Tapi, banyak sekolah bingung karena kurikulum ini tidak sama di mana-mana.
Pandemi COVID-19 di tahun 2020 mengubah banyak hal. UN dibatalkan selama dua tahun, dan banyak orang mulai bertanya apa gunanya ujian ini. Menurut Badan Pusat Statistik, pada 2023, hanya 65,94% anak lulus SMA, jauh lebih rendah dibandingkan SD (97,37%) dan SMP (88,88%). Ini menunjukkan banyak anak kesulitan melanjutkan sekolah.
Pada 2021, UN diganti dengan Asesmen Nasional (AN), yang seharusnya mengevaluasi sekolah secara keseluruhan, bukan cuma siswa. Melansir Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan, Rapor Pendidikan dari AN membantu sekolah memperbaiki diri, tapi masalah seperti kurangnya komputer dan guru masih ada.
Peran Organisasi dan Pemerintah
Organisasi seperti Tanoto Foundation dan pemerintah sangat membantu pendidikan. Tanoto Foundation bekerja dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk membuat Peta Jalan Pendidikan 2025-2045. Mengutip Tanoto Foundation, mereka ingin lebih banyak anak masuk SMA (dari 66,79% jadi 75,33% pada 2045) dan rata-rata sekolah sampai 12 tahun. Mereka juga melatih guru dan memberikan buku-buku untuk belajar.
Menurut Badan Pusat Statistik, pada 2023, hanya 73,17% guru punya gelar sarjana, dan cuma 25,76% yang punya sertifikat mengajar. Ini artinya banyak guru belum siap mengajar dengan baik. Data ini membuat Kemendikbudristek mencoba memindahkan guru ke daerah yang kekurangan. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga membantu dengan meminta pemerintah lebih jujur soal uang pendidikan. Mereka menyoroti temuan Komisi X DPR RI bahwa Rp111 triliun dana pendidikan pada 2023 tidak terpakai, padahal banyak sekolah masih rusak.
Dulu Berjuang, Sekarang Hafalan
Bayangkan kalau Ki Hadjar Dewantara hidup sekarang. Mungkin dia sedih melihat anak-anak hanya menghafal soal untuk lulus UN atau AN, bukan belajar tentang kehidupan. Dulu, Taman Siswa melawan Belanda dengan rencana dan semangat. Sekarang, sekolah sibuk mengadakan latihan ujian supaya nilai bagus. Melansir Kemendikbudristek, 1,3 juta anak miskin tidak sekolah pada 2023, menunjukkan sistem pendidikan belum membantu semua orang.
Taman Siswa mengajarkan anak untuk melawan ketidakadilan. Sebaliknya, UN/AN kadang membuat ketidakadilan baru: anak-anak di desa sulit ikut ujian karena tidak punya alat atau guru. Dulu, guru Taman Siswa rela diperiksa Belanda demi cita-cita. Sekarang, guru stres dengan tugas administrasi, dan banyak daerah kekurangan guru. Ini seperti lelucon: pendidikan dulu tentang perjuangan, sekarang tentang lulus ujian.
Tantangan dan Harapan
Taman Siswa dan UN/AN punya tantangan besar. Taman Siswa melawan penjajah, sedangkan UN/AN berjuang dengan ketidaksetaraan dan pertanyaan apakah ujian ini berguna. Mengutip Peta Jalan Pendidikan 2025-2045, pendidikan harus adil, berkualitas, relevan, dan melibatkan semua orang. Tapi, pada 2023, 198,6 ribu anak SMP tidak lanjut ke SMA karena bantuan seperti BOS dan PIP tidak tepat sasaran.
Solusi ada di kerja sama. Sistem Dapodik dari Kemendikbudristek membantu mencatat kebutuhan sekolah, meskipun koordinasi dengan daerah masih sulit. Pendidikan Indonesia harus belajar dari Taman Siswa: AN harus mengukur kemampuan seperti berpikir kreatif, bukan hafalan. Pemerintah perlu membangun lebih banyak sekolah, melatih guru, dan memastikan guru tidak stres atau miskin.
Dulu, Taman Siswa adalah tempat anak-anak belajar melawan penjajah. Sekarang, pendidikan lebih tentang lulus ujian. Perubahan ini menunjukkan prioritas yang berbeda. Data dari Badan Pusat Statistik, Tanoto Foundation, dan Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan mengungkap masalah seperti sekolah yang sulit dijangkau dan guru yang kurang terlatih.
Dengan semangat Taman Siswa dan kerja sama antara pemerintah dan organisasi, kita bisa membuat pendidikan yang tidak hanya meluluskan anak, tapi juga membentuk mereka jadi pahlawan untuk Indonesia masa depan.