Di era serba digital saat ini, di mana informasi dan layanan finansial hanya sejauh ketukan jari, muncul satu kenyataan yang patut dicermati: Generasi Z, kelompok usia muda yang lahir antara akhir 1990-an hingga awal 2010-an, kini menjadi pengguna aktif berbagai platform pinjaman online. Kepraktisan, kecepatan, dan janji kemudahan dalam peminjaman menjadi magnet yang kuat bagi generasi ini, yang tumbuh dalam ekosistem digital yang serba instan.
Namun, di balik kemudahan itu tersembunyi potensi bahaya yang seringkali terabaikan: krisis finansial pribadi, tekanan psikologis, hingga stigma sosial. Tulisan ini mengurai hasil penelitian dari jurnal Financial Quotient Generasi Z: Lifestyle Exposure dan Strategi Manajemen Risiko dalam Penggunaan Pinjaman Online (Firnando et al., 2025), serta mengelaborasi secara lebih luas bagaimana gaya hidup, pemahaman finansial, dan strategi manajemen risiko membentuk realitas keuangan Generasi Z saat ini.
Penelitian yang dilakukan oleh Firnando dan tim dari Fakultas Psikologi Universitas Mulawarman terbit dalam Jurnal Ilmiah Fakultas Psikologi Universitas Yudharta Pasuruan menunjukkan satu temuan penting: Generasi Z cenderung mengedepankan gaya hidup dibandingkan pengelolaan keuangan untuk masa depan. Dalam istilah mereka, “lifestyle exposure” menjadi semacam arena sosial, tempat pembuktian diri, sekaligus bentuk identitas yang terus dipoles dan dikurasi di media sosial.
Kebutuhan untuk terlihat “oke” di Instagram, tampil modis di TikTok, atau sekadar nongkrong di kafe kekinian menjadi bagian dari kehidupan sosial yang tak terpisahkan. Sayangnya, gaya hidup ini kerap tidak selaras dengan kemampuan finansial yang dimiliki. Alhasil, solusi instan seperti pinjaman online pun menjadi jalan pintas untuk tetap mempertahankan gaya hidup meskipun kantong sedang kering.
Fenomena ini menjadi semakin kompleks ketika kita menilik bahwa tidak semua Generasi Z mendapatkan literasi keuangan yang memadai sejak dini. Banyak dari mereka yang bahkan belum memiliki perencanaan keuangan dasar seperti membuat anggaran, menabung, atau memahami risiko bunga pinjaman. Akibatnya, mereka mudah tergiur oleh janji-janji manis pinjaman online: “proses cepat”, “tanpa jaminan”, “langsung cair”, tanpa benar-benar memahami konsekuensi jangka panjangnya.
Salah satu kekuatan utama dari layanan pinjaman online adalah kemampuannya memanfaatkan teknologi digital untuk menciptakan ilusi kenyamanan. Dalam hitungan menit, uang bisa masuk ke rekening tanpa harus keluar rumah. Namun, kenyamanan ini seringkali menjadi jebakan manis.
Dalam penelitian yang dilakukan dengan pendekatan fenomenologis ini, enam subjek diwawancarai secara mendalam. Mereka mengakui bahwa pada awalnya pinjaman online terasa seperti “penyelamat” dalam situasi darurat atau ketika mereka membutuhkan dana cepat. Namun, seiring waktu, kenyamanan itu berubah menjadi tekanan psikologis yang berat.
Tiga hal mencuat dari hasil wawancara: stres karena ditagih terus-menerus, kecemasan karena bunga yang menumpuk, dan rasa malu ketika harus menghadapi orang-orang terdekat yang tahu mereka terlilit utang. Lebih dari sekadar beban finansial, pinjaman online menyeret mereka ke dalam krisis identitas dan relasi sosial.
Ironisnya, meskipun para subjek tahu bahwa penggunaan pinjaman online berisiko tinggi, mereka tetap sulit menghentikannya. Ini menunjukkan adanya celah besar dalam kemampuan mereka mengelola risiko. Di sinilah peran financial quotient menjadi penting.
Financial quotient atau kecerdasan finansial merupakan konsep yang merujuk pada kemampuan seseorang untuk memahami, mengelola, dan membuat keputusan keuangan secara bijak. Ini bukan sekadar soal bisa menghitung uang, melainkan mencakup keterampilan berpikir jangka panjang, mengukur risiko, dan membedakan kebutuhan dari keinginan.
Sayangnya, banyak dari Generasi Z yang tidak memiliki financial quotient yang memadai. Ini tidak lepas dari kurangnya pendidikan finansial yang diberikan baik oleh keluarga maupun institusi pendidikan. Mereka belajar tentang sejarah dunia, rumus fisika, bahkan algoritma, tapi jarang sekali diberi bekal praktis tentang cara menyusun anggaran, memahami suku bunga, atau mengelola utang.
Dalam kasus yang dibahas oleh Firnando dan tim, para subjek mengalami kesulitan dalam menyusun prioritas kebutuhan, tidak membuat skala anggaran, dan tidak mempertimbangkan strategi pembayaran pinjaman sejak awal. Padahal, strategi-strategi ini adalah fondasi dasar dalam pengelolaan risiko finansial.
Lalu, bagaimana seharusnya Generasi Z merespons kondisi ini? Penelitian tersebut menyarankan dua langkah praktis: pertama, meminjam dari kerabat atau keluarga jika memang sangat terdesak kebutuhan keuangannya; kedua, membuat skala prioritas pengeluaran yang realistis dan dijalankan dengan disiplin.
Strategi ini penting karena pinjaman online bukanlah satu-satunya jalan. Dalam banyak kasus, meminjam dari keluarga bisa mengurangi tekanan bunga dan risiko denda. Sementara membuat skala prioritas dapat membantu individu menunda konsumsi yang tidak penting demi stabilitas jangka panjang.
Lebih jauh dari itu, manajemen risiko yang baik harus dimulai dari kesadaran diri. Generasi Z perlu mengenal lebih dalam karakteristik keuangannya sendiri: apakah mereka tipe impulsif, mudah tergoda promosi, atau cenderung menghindari perencanaan? Dengan pemahaman ini, mereka bisa mulai menyusun sistem pengelolaan yang sesuai dengan kondisi pribadi.
Menariknya, teknologi yang menjadi bagian dari masalah juga bisa menjadi bagian dari solusi. Aplikasi manajemen keuangan kini tersedia luas, mulai dari aplikasi pengatur anggaran, pengingat jatuh tempo pembayaran, hingga kalkulator bunga pinjaman. Sayangnya, aplikasi-aplikasi ini belum dimanfaatkan secara optimal oleh mayoritas Generasi Z.
Kita perlu mendorong transformasi perilaku digital: dari sekadar pengguna layanan konsumtif menjadi pengguna teknologi yang cerdas secara finansial. Literasi digital finansial harus menjadi bagian dari kurikulum, bukan hanya dalam pendidikan formal, tetapi juga melalui media sosial, webinar, dan komunitas online yang menarik minat generasi muda.
Platform seperti YouTube dan TikTok, misalnya, bisa menjadi media edukasi yang efektif jika dimanfaatkan dengan pendekatan yang sesuai. Bayangkan jika influencer yang biasa membahas fashion atau gaya hidup mulai menyelipkan konten soal keuangan pribadi dan risiko pinjaman online. Dampaknya bisa jauh lebih besar dibandingkan seminar formal di aula kampus.
Generasi Z adalah generasi masa depan. Mereka akan memegang kendali atas berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya dalam beberapa dekade mendatang. Oleh karena itu, penting bagi mereka untuk mulai membangun financial quotient sejak sekarang.
Kecerdasan finansial bukan hanya soal menghindari utang, tapi juga tentang menciptakan kehidupan yang seimbang antara konsumsi dan investasi, antara gaya hidup dan masa depan. Dunia kerja yang semakin fleksibel, sistem ekonomi yang terus berubah, dan teknologi yang makin canggih menuntut mereka untuk tidak hanya adaptif, tapi juga cerdas secara finansial.
Institusi pendidikan, keluarga, dan media memiliki tanggung jawab bersama untuk menciptakan ekosistem yang mendukung peningkatan literasi dan kecerdasan finansial. Program pengembangan diri, workshop keuangan, simulasi pengelolaan anggaran, hingga game edukatif berbasis finansial bisa menjadi langkah awal yang konkret.
Dengan meningkatkan financial quotient, menyusun strategi manajemen risiko yang matang, dan meredam eksposur gaya hidup yang tidak realistis, Generasi Z dapat menjadikan pinjaman online sebagai alternatif yang sehat dan bukan sebagai perangkap yang mencekik. Di sinilah letak peran penting kesadaran, edukasi, dan kebijaksanaan dalam dunia digital yang terus berputar tanpa jeda.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS