Pemerintah AS dalam laporannya menilai implementasi GPN dan QRIS melalui regulasi Bank Indonesia dapat membatasi ruang gerak perusahaan AS di sektor pembayaran digital. Laporan tersebut merupakan bagian dari upaya AS mendokumentasikan hambatan perdagangan yang dihadapi eksportir AS di berbagai negara.
Di Indonesia, GPN diatur melalui Peraturan BI No. 19/08/2017 yang menetapkan batas kepemilikan asing maksimal 20 persen pada lembaga switching lokal. Sementara itu, QRIS diresmikan lewat Peraturan BI No. 21/18/PADG/2019 untuk menyatukan standar pemindaian QR code di seluruh layanan pembayaran domestik.
Beberapa ahli ekonomi menilai bahwa kritik AS tersebut lebih dilatarbelakangi kepentingan persaingan usaha daripada isu teknis kebijakan.
Menurut Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), dominasi Visa dan Mastercard mulai terkikis sejak hadirnya QRIS yang memungkinkan interoperabilitas antarlayanan pembayaran. Ia menekankan bahwa kebijakan nasional seperti QRIS justru memperkuat kedaulatan digital Indonesia dalam ekosistem pembayaran global.
Sorotan AS dalam Laporan Hambatan Perdagangan
Laporan National Trade Estimate (NTE) 2025 adalah dokumen tahunan yang disusun oleh Office of the United States Trade Representative (USTR) untuk menginventarisasi hambatan perdagangan yang dihadapi eksportir AS di luar negeri.
Dalam edisi kali ini, QRIS dan GPN disebut-sebut sebagai hambatan non-tarif, karena aturan penyusunan kebijakan tersebut dianggap tidak melibatkan pemangku kepentingan internasional secara memadai.
Secara khusus, USTR menyoroti bahwa dalam proses perumusan kebijakan QRIS, perusahaan penyedia jasa pembayaran AS tidak mendapatkan kesempatan untuk memberi masukan terkait interoperabilitas sistem.
Selain itu, aturan GPN dianggap membatasi akses perusahaan asing dengan batas kepemilikan asing maksimal 20 persen dan kewajiban menjalin kemitraan dengan entitas lokal berizin BI.
Kritik serupa juga disampaikan oleh media AS, yang menganggap kebijakan ini dapat memengaruhi arus transaksi lintas batas dan mengganggu tatanan pembayaran global yang selama ini didominasi lembaga keuangan AS. Namun, beberapa kalangan menilai kekhawatiran tersebut lebih bersifat proteksionis ketimbang substansial.
Bank Indonesia Siap Gandeng AS, tapi Regulasi Menjadi Tantangan
Bank Indonesia menyatakan kesediaannya bekerja sama dengan Amerika Serikat maupun negara lain dalam pengembangan dan penggunaan QRIS, termasuk kemungkinan adopsi teknologi bersama, asalkan ada kesepakatan timbal balik.
Pernyataan ini dikemukakan oleh Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, saat menghadiri acara edukasi keuangan bagi pekerja migran Indonesia pada 21 April 2025 .
Destry menegaskan bahwa Indonesia tidak membeda-bedakan mitra dalam pengembangan sistem pembayaran digital. Bahkan, kartu kredit Visa dan Mastercard, dua raksasa pembayaran AS, masih mendominasi transaksi non-tunai di pasar Indonesia.
“Tidak ada diskriminasi terhadap penyedia layanan dari AS,” ujarnya.
Meski demikian, tantangan utama tetap pada regulasi GPN yang mengharuskan perusahaan asing memiliki batas kepemilikan 20 persen dan menjalin kemitraan dengan penyelenggara lokal berizin BI.
Para pakar menilai aturan ini penting untuk menjaga keamanan dan kedaulatan data transaksi domestik, namun perlu mekanisme konsultasi yang lebih terbuka agar tidak menimbulkan gesekan dagang.
Implikasi Bagi Kedaulatan Digital dan Inklusi Keuangan
Penerapan QRIS telah mencapai lebih dari 26,7 juta merchant dan 37 juta pengguna hingga Juni 2023, atau sekitar 82 persen dari target 45 juta pengguna pada tahun yang sama, menurut data Bank Indonesia.
Mayoritas merchant yang memanfaatkan QRIS adalah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang berkontribusi 91,9 persen dari total merchant per Oktober 2023.
Pada 14 Maret 2025, BI meluncurkan fitur QRIS Tap berbasis NFC, memungkinkan pembayaran dengan menempelkan smartphone ke terminal pemindai dalam waktu kurang dari 0,3 detik. Inovasi ini diharapkan mempercepat adopsi cashless dan mengakomodasi pengguna yang kesulitan memindai QR code via kamera ponsel.
Implikasi kebijakan QRIS dan GPN terhadap kedaulatan digital Indonesia cukup signifikan. Dengan standar nasional, Indonesia tidak lagi bergantung sepenuhnya pada infrastruktur pembayaran global milik Visa dan Mastercard, sehingga potensi aliran data transaksi dapat dikendalikan secara lokal.
Namun, perlu diimbangi dengan keterbukaan regulasi agar mitra internasional dapat berkontribusi dalam pengembangan teknis dan perlindungan konsumen.
Di tingkat daerah, hubungan antara BI dan UMKM terlihat di Jawa Tengah, di mana 97,98 persen merchant QRIS adalah usaha mikro dan kecil, menunjukkan peran penting pembayaran digital dalam pemberdayaan ekonomi lokal.
Ke depannya, inklusi keuangan digital dapat diperluas dengan mengintegrasikan QRIS ke sektor lain seperti transportasi publik, kesehatan, dan pariwisata.
Kesimpulan
Kontroversi yang mencuat antara AS dan Indonesia terkait QRIS dan GPN sejatinya mencerminkan pergulatan antara kedaulatan digital nasional dan kepentingan perusahaan global.
Bank Indonesia menunjukkan niat baik untuk bekerja sama, tetapi regulasi protektif masih diperlukan untuk menjaga keamanan dan kedaulatan data.
Ke depan, dialog terbuka antara pemangku kepentingan domestik dan internasional mutlak dibuka agar kebijakan pembayaran digital Indonesia semakin inklusif, aman, dan berdaya saing.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS