Kalau kamu pernah nonton film Thailand Bad Genius (2017), pasti ingat betapa cerdiknya tokoh-tokoh di film itu dalam menyontek ujian hingga skala internasional. Mereka pakai kode-kode, strategi licik, bahkan sampai menghafal urutan jawaban hanya demi lulus dan dapat beasiswa.
Film itu memang seru, menegangkan, bahkan bikin kita kagum pada kepintaran mereka — walaupun tetap, itu semua salah. Tapi siapa sangka, cerita mirip Bad Genius kini benar-benar terjadi di Indonesia, tepatnya di ajang UTBK SNBT 2025.
Menurut Ketua Tim Penanggung Jawab Panitia SNPMB 2025, Eduart Wolok, berbagai modus kecurangan ditemukan selama pelaksanaan ujian nasional berbasis komputer ini.
Ada yang pakai kamera kecil tersembunyi di behel gigi, kuku, kancing baju, sampai ikat pinggang. Ada juga yang memakai software recording desktop, remote desktop, dan trik-trik lain yang bahkan lolos dari deteksi alat metal detector.
Singkatnya, ini sudah jauh lebih canggih dibanding sekadar mencontek pakai tangan kiri di bawah meja. Kita bicara soal teknologi tingkat tinggi, sayangnya, digunakan untuk tujuan serendah itu: menipu ujian.
Melihat fenomena ini, kita jadi miris. Bukannya kagum, justru bertanya-tanya: kenapa kepintaran anak-anak ini tidak diarahkan ke hal yang lebih besar dan positif?
Mereka jelas kreatif. Mereka melek teknologi. Mereka mampu menyusun strategi rumit. Tapi sayangnya, semua itu dipakai untuk mencari jalan pintas, bukan membangun masa depan lewat usaha yang jujur.
Seolah-olah dunia nyata ini berubah jadi panggung Bad Genius, tapi tanpa latar belakang dramatis soal ketidakadilan sosial seperti di filmnya.
Yang tersisa hanyalah akal-akalan untuk mengelabui sistem pendidikan — sebuah mentalitas yang kalau dibiarkan, bisa berbahaya bukan hanya untuk individu, tapi untuk bangsa.
Mengapa Ini Mengkhawatirkan?
Karena pendidikan seharusnya bukan hanya soal mendapatkan nilai tinggi. Ia adalah proses membentuk karakter, membangun integritas, dan menyiapkan generasi yang siap bersaing secara sehat di dunia nyata.
Kalau dari usia belia sudah menghalalkan segala cara demi "hasil instan," bagaimana nanti saat mereka masuk dunia kerja? Apakah mereka akan mengakali laporan keuangan? Memalsukan data proyek? Atau lebih buruk lagi, terlibat dalam korupsi seperti banyak pejabat yang sekarang jadi berita?
Jangan sampai keterampilan menipu yang "dilatih" sejak ujian sekolah jadi bibit-bibit masalah besar di masa depan.
Lebih menyedihkan lagi, fenomena ini memperlihatkan betapa banyak anak muda kita yang mungkin merasa tidak percaya diri menghadapi persaingan.
Bukannya mengasah kemampuan, mereka memilih jalan pintas karena takut kalah, takut gagal, atau merasa sistem tidak adil. Ini sinyal bahwa ada sesuatu yang salah dalam cara kita membangun semangat belajar — mungkin terlalu menekankan hasil, terlalu sedikit mengapresiasi proses.
Kalau kita ingin keluar dari siklus "akal-akalan" ini, semua pihak harus berbenah. Orang tua, guru, dan sistem pendidikan harus lebih banyak menanamkan keberanian untuk gagal, kejujuran dalam berproses, dan rasa percaya bahwa setiap usaha yang jujur akan membawa hasil yang berharga.
Anak-anak muda harus diajarkan bahwa kegagalan itu bukan aib, bahwa berjuang dengan jujur jauh lebih berharga daripada menang dengan curang. Bahwa teknologi itu keren kalau dipakai untuk membangun, bukan untuk mengelabui.
Dan, tentu saja, perlu sistem pengawasan ujian yang lebih ketat. Tapi lebih dari itu, perlu perubahan pola pikir: sukses itu bukan hanya tentang skor, tapi tentang nilai yang kita pegang.
Daripada membiarkan generasi muda jadi "bad genius" berikutnya, lebih baik kita dorong mereka jadi "good genius" — pintar, kreatif, dan berintegritas.
Di Bad Genius, si jenius Lynn akhirnya sadar bahwa semua kecerdikannya tak ada artinya jika ia harus terus hidup dalam kebohongan. Semoga di dunia nyata, kita bisa lebih cepat sadar, sebelum terlambat.