Kisah Mbah Tupon dan Pelajaran Kewaspadaan dari Ulah Mafia Tanah

Hikmawan Firdaus | Sherly Azizah
Kisah Mbah Tupon dan Pelajaran Kewaspadaan dari Ulah Mafia Tanah
Potret Mbah Tupon (X/jembermfs)

Di tengah gemuruh media sosial, kisah Mbah Tupon, seorang lansia buta huruf dari Ngentak, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, menyita perhatian publik. Video yang diunggah akun @Mdy_Asmara1701 di platform X pada 28 April 2025 menggambarkan narasi penderitaan kakek berusia 68 tahun ini. Tanah seluas 1.655 meter persegi beserta rumahnya dan rumah anaknya terancam disita bank karena ulah mafia tanah. Ketidakmampuan Mbah Tupon membaca dan menulis menjadi celah yang dimanfaatkan untuk menjeratnya dalam skema licik yang merenggut harta warisannya. Kisah ini bukan sekadar cerita individu, melainkan cerminan betapa rentannya masyarakat terhadap praktik mafia tanah yang masih merajalela.

Semuanya bermula pada 2020, ketika Mbah Tupon memiliki tanah seluas 2.100 meter persegi. Untuk membiayai pembangunan rumah anaknya, ia menjual 298 meter persegi kepada BR, seorang tokoh publik yang disebut-sebut mantan anggota DPRD Bantul. Transaksi itu meninggalkan utang Rp35 juta dari BR kepada Mbah Tupon. Pada 2021, BR menawarkan untuk melunasi utang tersebut dengan membiayai pecah sertifikat tanah Mbah Tupon yang tersisa 1.655 meter persegi, yang rencananya akan dibagi atas nama Tupon dan ketiga anaknya. Namun, janji manis itu berujung petaka. Alih-alih pecah sertifikat, tanah tersebut malah dibalik nama menjadi milik seseorang berinisial IF, yang kemudian menggunakannya sebagai jaminan pinjaman bank sebesar Rp1,5 miliar.

Kejahatan ini terungkap pada Maret 2024, saat petugas dari PT Permodalan Nasional Madani (PNM) mendatangi rumah Mbah Tupon. Mereka menginformasikan bahwa tanah dan dua bangunan di atasnya telah masuk tahap lelang pertama karena IF, pemilik baru sertifikat, tidak pernah membayar angsuran. Keluarga Tupon terkejut. Mereka tidak pernah menyetujui peralihan hak milik, apalagi tahu-menahu soal pinjaman tersebut. Yang lebih menyakitkan, dalam rentang 2020-2024, Mbah Tupon tiga kali diajak menandatangani dokumen tanpa diberi penjelasan isi dokumen tersebut. “Bapak tidak bisa baca-tulis, tidak dibacakan juga,” ujar Heri Setiawan, putra sulung Tupon. Ketidaktahuan ini membuat Tupon trauma berat, bahkan pingsan saat diminta tanda tangan karena takut kembali diperdaya.

Kasus ini mengungkap modus mafia tanah yang memanfaatkan kerentanan korban, terutama lansia dan mereka yang tidak melek huruf. Mbah Tupon, yang dikenal sebagai sosok dermawan—pernah menghibahkan tanah untuk jalan kampung dan gudang RT—justru menjadi sasaran empuk. Dokumen-dokumen yang ditandatangani tanpa sepengetahuannya kemungkinan berisi akta jual beli atau kuasa yang memungkinkan peralihan sertifikat. Celah lain adalah absennya survei lapangan oleh bank untuk memverifikasi properti yang diagunkan, yang seharusnya bisa mencegah penipuan semacam ini. Praktik ini menunjukkan betapa longgarnya pengawasan dalam transaksi properti, sekaligus lemahnya perlindungan hukum bagi masyarakat awam.

Secara hukum, kasus ini sedang ditangani Polda DIY sejak dilaporkan pada 14 April 2025. Beberapa pihak, termasuk BR, notaris berinisial TR, AR, dan IF, telah dilaporkan atas dugaan keterlibatan dalam modus mafia tanah. Namun, proses penyelidikan masih berlangsung, dan keadilan bagi Mbah Tupon belum terlihat ujungnya. Kasus ini mengingatkan kita pada pernyataan Menteri ATR/BPN Agus Harimurti Yudhoyono pada 2024, yang menyebut mafia tanah sebagai ancaman serius dengan potensi kerugian negara hingga triliunan rupiah. Sayangnya, meski ada komitmen untuk memberantas mafia tanah, kasus seperti yang menimpa Tupon menunjukkan bahwa praktik ini masih jauh dari terkendali.

Kisah Mbah Tupon adalah seruan untuk perubahan. Pemerintah perlu memperketat regulasi transaksi tanah, memastikan verifikasi ketat oleh bank, dan memberikan pendampingan hukum bagi masyarakat rentan. Pendidikan literasi hukum dan keuangan juga harus digalakkan, terutama di kalangan lansia dan kelompok marginal. Di sisi lain, solidaritas warga Ngentak membuktikan bahwa kebersamaan bisa menjadi kekuatan melawan ketidakadilan. Mbah Tupon mungkin hanya ingin sertifikat tanahnya kembali, tetapi kisahnya telah membangunkan kesadaran kolektif: hari ini Tupon, besok bisa jadi kita. Mari kawal kasus ini hingga keadilan ditegakkan, bukan hanya untuk Tupon, tetapi untuk masa depan yang lebih adil bagi semua.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak