Wacana revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (RUU Polri) kian bergulir hingga berpotensi memantik kontroversi publik, sebagaimana polemik yang sebelumnya terjadi pada revisi hingga pengesahan UU TNI beberapa waktu lalu.
Inisiatif perubahan regulasi ini mencuat di tengah sorotan tajam terhadap institusi kepolisian yang belakangan masih dibayang-bayangi oleh rentetan kasus serius—mulai dari intimidasi dan pembredelan terhadap band punk Sukatani, dugaan kekerasan seksual yang melibatkan perwira, narkoba, praktik korupsi, hingga tindakan sewenang-wenang yang berujung pada penyiksaan dan kematian tersangka tanpa proses hukum yang semestinya.
Komisi III DPR menyatakan kesiapannya untuk membahas RUU Polri jika dinilai sebagai kebutuhan yang mendesak. Seperti yang kita ketahui, RUU ini termasuk dalam daftar inisiatif DPR dan pembahasannya telah bergulir sejak 2024 lalu.
Namun, kabar terbaru memperlihatkan bahwa proses yang tengah terjadi sementara dihentikan. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menginformasikan adanya penundaan pembahasan RUU tersebut.
Kabar ini disampaikan langsung oleh Ketua Harian Kompolnas, Arief Wicaksono Sudiutomo, setelah berkomunikasi dengan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, pada Rabu, 9 April 2025.
Ancaman Kebebasan Ruang Digital
Berdasarkan draft RUU Polri yang tersebar di internet, sejumlah pasal yang diusulkan mengalami perubahan, disinyalir memantik polemik karena substansi pasal yang dirasa merugikan masyarakat.
Misalnya, Pasal 16 Ayat (1) huruf q menyatakan bahwa Polri berwenang melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri.
Penyadapan di ruang siber pun rentan terjadi, sebab dengan revisi ini kepolisian mempunyai otoritas wewenang yang diklaim sesuai Undang-Undang Penyadapan.
Dalam rekam sejarah, praktik memperlambat atau memutus akses internet acap kali dipergunakan sebagai instrumen untuk meredam protes dan membungkam aksi masyarakat sipil.
Misalnya, seperti yang terjadi pada tahun 2019 di Papua dan Papua Barat. Saat itu, pemerintah melakukan pemutusan akses internet yang kemudian oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dinyatakan sebagai bentuk perbuatan melawan hukum.
Dalam konteks pembahasan RUU saat ini, keterlibatan Polri dalam pembatasan ruang siber berpotensi mempersulit ruang kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang digital, khususnya terhadap kritik yang ditujukan kepada institusi maupun pihak di pemerintah.
Pengawasan yang berlebihan di ruang digital dapat menjadi ancaman bagi hak privasi warga negara serta hak untuk mengakses informasi.
Selain itu, perluasan wewenang ini semakin rentan menimbulkan tumpang tindih fungsi antar lembaga seperti dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Lebih dari sebatas persoalan kewenangan teknis, RUU Polri justru luput mengatasi masalah struktural yang selama ini membayang-bayangi institusi bhayangkara.
Salah satu persoalan fundamental yang tak tersentuh adalah kelemahan pada sistem pengawasan dan keterbatasan kontrol publik terhadap kekuasaan Polri yang kian besar baik dalam praktik penegakan hukum, pengelolaan keamanan, maupun dalam fungsi pelayanan kepada masyarakat.
Sederet Catatan Pembenahan
Beragam laporan dari kelompok masyarakat sipil maupun lembaga negara memperlihatkan bahwa institusi kepolisian bertindak taubahnya pemegang tunggal kekerasan negara.
Dalam praktiknya di lapangan, peran tersebut kerap disertai dengan serangkaian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), maladministrasi, penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) hingga praktik korupsi dan pungli yang mengakar.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), misalnya, memberikan catatan bahwa dalam kurun waktu 2020 - 2024, praktik kekerasan yang melibatkan anggota kepolisian terjadi secara konsisten.
Per Juli 2020 - Juni 2021, tercatat setidaknya 651 kasus kekerasan. Angka ini mengalami eskalasi menjadi 677 kasus pada periode Juli 2021 - Juni 2022, dan bertahan dengan 622 kasus per Juli 2022 - Juni 2023.
Data terkini, Januari - April 2024, melalui pemantauan KontraS, telah terjadi 198 kasus kekerasan yang melibatkan kepolisian. Sejumlah data ini memperlihatkan bahwa kekerasan yang dilakukan aparat bukanlah insiden sporadis, melainkan pola dan praktik yang terus berulang.
Jenis-jenis pelanggaran yang tercatat meliputi berbagai bentuk kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan, mulai dari penembakan, penganiayaan, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, pembubaran aksi secara paksa, hingga perlakuan tidak manusiawi.
Selain itu, kasus penculikan, pembunuhan, penggunaan gas air mata dan water cannon dalam menghadapi demonstran, praktik salah tangkap hingga praktik pembunuhan di luar proses hukum juga masuk dalam kategori pelanggaran bahkan kejahatan yang melibatkan aparat kepolisian.
Serangkaian data dan temuan tersebut mempertegas bahwa kepolisian merupakan institusi yang masih menghadapi persoalan internal serius, sistemik bahkan mengakar menjadi budaya.
Namun, di tengah kompleksitas masalah yang tengah dihadapi, DPR justru lebih fokus menggulirkan RUU Polri, ketimbang mencari tahu lebih dulu akar permasalahan yang hingga saat ini dihadapi.
Ironisnya, RUU yang semestinya menjadi momentum untuk menjawab akar permasalahan institusional—terutama terkait lemahnya pengawasan dan akuntabilitas—justru tidak tersentuh aspek-aspek krusial tersebut.
Bukannya mendorong reformasi secara kualitas, draft RUU Polri justru kian memperluas cakupan kekuasaan kepolisian tanpa disertai penguatan instrumen pengawasan.
Langkah ini mencoba membuka jalan bagi Polri untuk semakin menjelma menjadi lembaga superbody—institusi dengan kewenangan yang berlebihan, namun minim akuntabilitas.
Lebih dari itu, dalam muatan substansinya, RUU ini gagal merefleksikan komitmen terhadap perlindungan HAM, abai terhadap suara masyarakat sipil dan tidak mengakomodasi agenda reformasi pengawasan—baik secara eksternal maupun internal.
Konsekuensinya, ruang bagi impunitas kian terbuka lebar, membiarkan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat berlangsung tanpa konsekuensi.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS