iPhone dan Status Sosial: Ketika Citra Diri Kalahkan Stabilitas Finansial

Hayuning Ratri Hapsari | Inggrid Tiana
iPhone dan Status Sosial: Ketika Citra Diri Kalahkan Stabilitas Finansial
Ilustrasi ponsel IPhone (YouTube/Simple Alpaca)

Fenomena kelas menengah ke bawah yang rela mengambil kredit, bahkan pinjaman online (pinjol) demi memiliki smartphone keluaran terbaru, khususnya iPhone, merupakan isu sosial yang kompleks dan mencerminkan berbagai dinamika masyarakat modern.

Tindakan ini mungkin tampak irasional dari sudut pandang ekonomi, namun jika ditelaah lebih dalam, kita dapat memahami beberapa faktor pendorongnya yang kuat, yang berkaitan erat dengan isu sosial dan psikologis di masa kini, berikut di antaranya:

1. Simbol Status dan Identitas Diri 

Di era gempuran media sosial, kepemilikan smartphone canggih sering kali lebih dari sekadar alat komunikasi. Hal ini telah bertransformasi menjadi simbol status sosial dan identitas diri.

Bagi sebagian orang, memiliki iPhone dianggap sebagai penanda keberhasilan, gaya hidup modern, dan kemampuan untuk mengikuti tren masa kini. Dalam lingkungan sosial yang kompetitif, terutama di kalangan anak muda, tekanan dari teman sebaya memainkan peran yang signifikan.

Rasa takut tertinggal (fear of missing out atau FOMO) mendorong mereka untuk memiliki perangkat yang sama dengan lingkungannya, meskipun harus mengorbankan stabilitas finansial.

2. Pengaruh Konsumen Media Sosial

Media sosial dan iklan memainkan peran yang sangat kuat dalam membentuk persepsi dan keinginan masyarakat. Apple, sebagai produsen iPhone, dikenal dengan strategi pemasaran yang efektif, yang membangun citra produknya bukan hanya sebagai smartphone, tetapi juga sebagai bagian dari gaya hidup yang glamor dan modern.

Iklan-iklan yang menampilkan kehidupan yang serba terhubung secara tidak langsung menanamkan keinginan untuk memiliki produk tersebut agar dapat naik kelas secara sosial.

Fenomena konsumerisme yang kian mengakar di masyarakat Indonesia juga mendorong keinginan untuk terus memiliki barang-barang terbaru, terlepas dari kemampaun ekonomi yang terbilang kurang.

3. Kebutuhan akan Validasi dan Pengakuan 

Kepemilikan barang-barang mewah dapat menjadi cara bagi sebagian orang untuk mencari validasi dan pengakuan dari lingkungan sosialnya.

Di era, citra diri sering kali dibangun dan dipamerkan secara daring, memiliki smartphone dengan kualitas kamera yang baik dan dianggap prestige dapat meningkatkan rasa percaya diri dan status sosial di dunia maya.

Foto-foto dan video yang dihasilkan oleh iPhone sering kali dianggap memiliki kualitas yang lebih baik, yang menjadi pertimbangan penting bagi pengguna media sosial yang aktif.

Contohnya seperti persewaan iPhone yang marak menjelang Lebaran yang sempat menjadi sorotan di media sosial. Banyak orang menyewa iPhone untuk meningkatkan citra diri saat menghadiri acara buka bersama.

Tren ini mencerminkan kebutuhan simbolik dalam masyarakat. Teknologi, selain memiliki nilai guna seperti alat komunikasi, juga memiliki nilai simbolik yang mempresentasikan status sosial. 

Sewa iPhone menjadi cara bagi sebagian orang untuk menunjukkan identitas sebagai bagian dari kelas sosial yang lebih tinggi, meskipun mereka tidak mampu membelinya secara langsung.

4. Kemudahan Akses Kredit dan Pinjaman Online 

Maraknya platform kredit dan pinjaman online telah memberikan kemudahan akses bagi masyarakat kelas menengah ke bawah untuk mendapatkan dana secara cepat meskipun dengan bunga yang tinggi. 

Kemudahan ini sayangnya sering kali tidak diimbangi dengan literasi keuangan yang memadai, sehingga banyak yang terjebak dalam lingkaran utang yang sulit diatasi. Keinginan untuk segera memiliki iPhone sering kali mengalahkan pertimbangan jangka panjang mengenai kemampuan membayar cicilan atau bunga yang mencekik.

Fenomena ini memiliki implikasi sosial dan ekonomi yang cukup mengkhawatirkan. Uang yang seharusnya bisa dialokasikan untuk kebutuhan yang lebih mendesak, seperti pendidikan, kesehatan, atau tabungan, justru digunakan untuk konsumsi barang mewah.

Hal ini dapat memperburuk kondisi ekonomi keluarga kelas menengah ke bawah dan meningkatkan risiko financial distress. Selain itu, ketergantungan pada kredit dan pinjaman online untuk konsumsi juga menciptakan budaya konsumtif yang tidak sehat dan tidak berkelanjutan.

Meskipun keinginan untuk mengikuti tren dan meningkatkan citra diri adalah hal yang wajar, penting untuk diiringi dengan kesadaran finansial dan prioritas kebutuhan yang lebih mendasar. 

Literasi keuangan yang baik dan regulasi yang lebih ketat terhadap platform kredit dan pinjaman online diharapkan dapat membantu masyarakat kelas menengah ke bawah untuk membuat keputusan keuangan yang lebih bijak agar terhindar dari jeratan utang konsumtif.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak