Ketika Kepuasan Kerja Menjadi Bahan Bakar Loyalitas Organisasi

Hernawan | Rion Nofrianda
Ketika Kepuasan Kerja Menjadi Bahan Bakar Loyalitas Organisasi
Ilustrasi karyawan yang bekerja hingga larut malam (pexels/Ron Lach)

Dalam lanskap organisasi kontemporer, ketika ketidakpastian ekonomi menjadi arus utama dan tekanan pasar menuntut kecepatan serta efisiensi kerja yang terus meningkat, muncul kebutuhan akan sumber daya manusia yang tak sekadar bekerja sesuai kontrak, tetapi melampaui peran formalnya. Di sinilah konsep Organizational Citizenship Behavior atau OCB mendapat tempat istimewa bukan sebagai gagasan elitis psikologi industri semata, melainkan sebagai denyut nadi keseharian organisasi yang hidup dan tumbuh bersama dinamika karyawannya.

OCB merupakan istilah yang merujuk pada perilaku kerja ekstra yang dilakukan secara sukarela oleh karyawan tanpa imbalan langsung dan tidak tercantum dalam deskripsi kerja formal. Ia bisa muncul dalam bentuk membantu rekan kerja yang kesulitan, bersikap proaktif dalam menyelesaikan masalah, menjaga citra organisasi secara sukarela, hingga tetap memberikan kontribusi meski dalam situasi yang tidak ideal. Dalam konteks ini, OCB adalah manifestasi nyata dari komitmen personal seorang karyawan terhadap organisasi. Ia bukan sekadar bekerja untuk gaji, tetapi bekerja dengan semangat kebermaknaan dan loyalitas.

Penelitian yang dilakukan oleh Rani Tunbaity Gultom, Noor Erdianza, dan Rion Nofrianda dalam Psyche 165 Journal edisi Januari 2020 menjadi salah satu kontribusi penting dalam memperjelas bagaimana OCB dapat ditumbuhkan dan dipelihara dalam suatu organisasi. Dengan mengambil sampel dari karyawan sebuah perusahaan kuliner di Yogyakarta, penelitian ini memfokuskan perhatian pada dua variabel utama yang diyakini memiliki korelasi kuat terhadap OCB, yakni kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Penelitian ini mengajukan pertanyaan mendasar namun penting: mengapa seseorang mau bekerja lebih dari yang diminta?

Penelitian ini menemukan bahwa kepuasan kerja berkorelasi positif dan signifikan terhadap perilaku OCB. Dalam bahasa sederhana, ketika seorang karyawan merasa puas terhadap pekerjaannya, baik dari segi isi pekerjaan, lingkungan kerja, hubungan antar individu, maupun sistem penghargaan, maka ia cenderung akan memberikan kontribusi yang lebih dari sekadar kewajiban. Kepuasan kerja menjadi pupuk bagi semangat kerja, menyuburkan motivasi intrinsik, dan memperluas spektrum tanggung jawab yang dijalankan secara sukarela.

Bayangkan seorang pelayan restoran yang bekerja delapan jam sehari. Jika ia puas terhadap pekerjaannya merasa dihargai, diberi ruang tumbuh, dan diperlakukan adil maka ia tidak akan ragu membantu rekannya yang kesulitan, atau bahkan mengambil inisiatif membereskan masalah operasional meski bukan tugas utamanya. Sikap seperti inilah yang disebut sebagai OCB. Kepuasan kerja tidak hanya menyangkut gaji, tetapi juga rasa memiliki, keterlibatan emosional, dan persepsi positif terhadap sistem organisasi.

Selain kepuasan kerja, komitmen organisasi juga berperan penting. Penelitian ini mengungkapkan bahwa semakin tinggi tingkat komitmen karyawan terhadap organisasi, maka semakin besar pula kemungkinan munculnya perilaku OCB. Komitmen organisasi di sini bukanlah sekadar loyalitas buta, melainkan bentuk kepercayaan terhadap visi dan nilai-nilai organisasi, kesediaan untuk berusaha demi kemajuan perusahaan, serta keinginan untuk tetap menjadi bagian dari organisasi dalam jangka panjang. Komitmen organisasi adalah fondasi psikologis yang mengikat individu dengan entitas tempatnya bekerja.

Dengan demikian, seseorang yang memiliki komitmen tinggi terhadap perusahaannya tidak hanya datang bekerja karena kewajiban, tetapi juga karena keyakinan. Ia merasa bahwa keberadaannya bermakna, dan bahwa kontribusinya, betapapun kecil, berpengaruh terhadap arah gerak organisasi. Ia akan bekerja dengan sepenuh hati, menjaga nama baik perusahaan, dan aktif terlibat dalam pencapaian tujuan bersama. Komitmen ini sering kali menjadi alasan utama mengapa seseorang memilih bertahan meski sedang menghadapi tekanan, atau bahkan ikut mencari solusi saat perusahaan sedang berada dalam masa sulit.

Menariknya, penelitian ini juga menunjukkan bahwa kepuasan kerja dan komitmen organisasi tidak berdiri sendiri. Keduanya saling terkait, saling memperkuat, dan secara kolektif mendorong munculnya OCB. Hubungan yang terbangun antara kepuasan dan komitmen bersifat sinergis; semakin tinggi kepuasan yang dirasakan, maka semakin kuat pula komitmen yang muncul. Demikian pula sebaliknya, semakin kuat komitmen seseorang terhadap organisasi, maka ia akan berusaha mencari makna dalam pekerjaannya, yang kemudian meningkatkan kepuasannya.

Penelitian ini bukan sekadar menyodorkan angka-angka korelasi. Ia mengangkat sebuah pesan penting bagi para pemimpin organisasi: bahwa memperhatikan kesejahteraan psikologis karyawan bukanlah pilihan tambahan, melainkan keharusan strategis. Dalam era di mana budaya kerja berubah begitu cepat dan loyalitas karyawan menjadi hal langka, membangun kepuasan kerja dan komitmen organisasi menjadi investasi jangka panjang. Organisasi yang mampu menciptakan lingkungan kerja yang suportif, adil, dan memberikan ruang aktualisasi akan menuai manfaat dalam bentuk perilaku-perilaku positif yang muncul dari inisiatif pribadi karyawan.

Fenomena OCB sangat relevan dengan tantangan organisasi masa kini. Ketika struktur organisasi menjadi lebih datar dan kolaboratif, kinerja tidak lagi hanya bergantung pada perintah atasan, tetapi pada seberapa besar inisiatif dan kerja sama yang muncul dari bawah. Dalam konteks ini, OCB menjadi aset tak ternilai yang menyumbang pada ketahanan organisasi, kapasitas inovatif, dan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan. Perilaku kerja ekstra tidak lagi dianggap sebagai bonus, melainkan sebagai elemen penting dari budaya kerja yang sehat dan produktif.

Perusahaan kuliner yang menjadi latar penelitian ini adalah contoh menarik. Industri kuliner menuntut kecepatan, ketepatan, dan pelayanan prima, karena setiap pengalaman pelanggan menentukan keberlangsungan bisnis. Dalam industri semacam ini, OCB sangat dibutuhkan. Seorang karyawan yang mau membersihkan meja tanpa diminta, mengingatkan rekannya yang lupa, atau menyapa pelanggan dengan senyum tulus meski bukan tanggung jawabnya, memberi nilai tambah yang besar. Semua itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam penelitian ini, tidak akan mungkin terjadi jika karyawan merasa lelah secara emosional, tidak dihargai, atau merasa terasing dalam lingkungan kerja.

Dengan demikian, penelitian ini seolah mengajukan satu tesis utama yang patut direnungkan: bahwa organisasi yang ingin membangun budaya kerja yang unggul tidak cukup hanya dengan target dan sistem pengawasan, tetapi harus menumbuhkan ruang psikologis yang kondusif bagi tumbuhnya OCB. Para pemimpin organisasi perlu menjadi fasilitator kepuasan kerja dan penjaga api komitmen. Mereka perlu hadir tidak hanya sebagai pengontrol, tetapi sebagai pemberi makna dan inspirasi kerja.

Bukan hal yang mudah memang. Membangun kepuasan kerja dan komitmen organisasi memerlukan pendekatan yang berlapis dan berkelanjutan. Ia tidak bisa dipaksakan, tidak bisa dibeli dengan insentif sesaat. Ia tumbuh dari keterlibatan jujur antara organisasi dan karyawan, dari budaya dialog, dari kepercayaan yang dijaga terus-menerus. Ini adalah pekerjaan panjang, tetapi hasilnya sepadan. Sebuah organisasi yang dipenuhi oleh individu-individu yang secara sukarela dan konsisten memberikan kontribusi ekstra adalah organisasi yang siap menghadapi tantangan zaman.

Penelitian ini juga memberi implikasi praktis yang jelas. Bagi praktisi HR, pengelola SDM, maupun pemilik usaha, hasil ini mengingatkan bahwa program kesejahteraan karyawan tidak bisa berhenti pada aspek material semata. Aspek psikologis seperti rasa dihargai, rasa memiliki, dan rasa percaya terhadap perusahaan jauh lebih menentukan keberlangsungan kontribusi karyawan. Sering kali, keputusan seseorang untuk memberi lebih dari yang diminta bukan karena angka pada slip gaji, tetapi karena ia merasa pekerjaannya berarti, organisasinya menghargainya, dan bahwa kehadirannya memberi dampak.

Akhirnya, jika kita ingin melihat masa depan organisasi yang lebih manusiawi dan berkelanjutan, maka kita harus serius memikirkan bagaimana memperlakukan manusia di dalamnya. Penelitian ini, dengan segala kesederhanaannya, telah mengingatkan kita pada hal yang mendasar: bahwa kinerja bukan hanya soal sistem, tetapi juga soal hati. Dan hati karyawan hanya akan terbuka ketika mereka merasa puas, dihargai, dan memiliki komitmen terhadap sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak