Di ruang-ruang kebijakan publik yang semakin sesak oleh kepentingan politik dan angka statistik, tubuh manusia—yang mestinya sakral dan otonom—justru dijadikan komoditas. Belum lama ini, pernyataan kontroversial Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, bahwa bantuan sosial (bansos) hanya akan diberikan kepada mereka yang bersedia ikut program Keluarga Berencana (KB), terutama melalui vasektomi untuk laki-laki, memperlihatkan bagaimana negara bisa berubah menjadi pedagang hak tubuh.
Dalam situasi ekonomi yang menekan, iming-iming listrik gratis, renovasi rumah, dan beasiswa jadi tampak seperti transaksi 'saling menguntungkan'. Namun, ini bukanlah simbiosis mutualisme—ini paksaan terselubung.
Tubuh: Dari Subjek ke Objek Kekuasaan
Tubuh manusia bukanlah hanya daging dan darah. Ia adalah wilayah otonom, tempat bercokolnya kehendak, martabat, dan hak yang tidak bisa dinegosiasikan. Ketika negara menjadikan tubuh sebagai syarat bantuan, itu berarti negara telah menginjak batas antara fasilitator kesejahteraan dan penjaga represi.
Komnas HAM pun mengingatkan: pemaksaan sterilitas dengan imbalan bansos adalah pelanggaran hak asasi manusia. Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, menyebut kebijakan ini sebagai bentuk penghukuman terhadap tubuh, bukan solusi kesehatan publik.
Dalam ranah etika kesehatan global, dua prinsip mendasar adalah hak atas otonomi dan hak atas integritas tubuh. Rivera-López (2024) menekankan bahwa otoritas terhadap tubuh harus selalu menjadi milik individu, bukan negara. Bahkan dalam isu sensitif seperti euthanasia, keputusan pribadi tetap menjadi pusat pertimbangan. Maka, ketika negara mencoba mengatur pilihan reproduksi dengan tawaran bantuan ekonomi, itu bukan lagi kebijakan, tetapi intervensi kekuasaan.
Miskin yang Disasar, Martabat yang Dilucuti
Secara kasat mata, kebijakan ini seolah menyasar semua lapisan masyarakat. Namun, jika dicermati, kelompok yang paling terpapar adalah masyarakat miskin—mereka yang tak punya cukup akses informasi, layanan medis, atau daya tawar sosial. Mereka yang setiap hari berjuang bertahan hidup kini dihadapkan pada pilihan tragis: steril atau terus hidup dalam kekurangan.
Padilla dan Reyes (2024) menunjukkan bahwa kebijakan kesehatan yang inklusif dan berkeadilan seharusnya memperbesar akses bagi kelompok paling rentan, bukan malah mempersempitnya dengan syarat yang merugikan. Maka ketika negara memberikan bansos dengan syarat vasektomi, itu bukan sekadar kebijakan diskriminatif, tapi juga bentuk pengabaian terhadap prinsip keadilan sosial.
Keadilan Reproduksi dan Ilusi Pilihan Bebas
Pendekatan keadilan reproduksi menempatkan tubuh sebagai subjek aktif yang berhak memilih secara sadar dan bebas dari tekanan. Beck dkk. (2024) menggarisbawahi bahwa identitas sosial seperti jenis kelamin, kelas, dan ras harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan kesehatan. Jika tidak, kebijakan tersebut berpotensi menjadi alat kontrol negara atas tubuh rakyat.
Menjadikan vasektomi sebagai prasyarat bansos adalah bentuk pengkhianatan terhadap keadilan reproduksi. Di satu sisi, negara seolah memberi pilihan. Di sisi lain, pilihan itu datang dengan konsekuensi ekonomi yang menghukum. Ini adalah ilusi kebebasan—sebuah kebebasan palsu yang justru menutup jalan menuju kedaulatan tubuh.
Negara Harus Menyejahterakan, Bukan Mengendalikan
Sharma (2024) menegaskan bahwa setiap individu berhak mendapatkan informasi lengkap, pilihan metode kontrasepsi yang aman, dan layanan kesehatan yang dapat diterima secara budaya. Namun, istilah "dapat diterima" bukan sekadar berarti efektif dari sisi medis, tetapi juga etis dan kontekstual.
Ketika negara hanya menawarkan satu metode—dalam hal ini vasektomi—tanpa memberikan ruang pilihan yang adil, maka yang terjadi adalah pengendalian, bukan fasilitasi. Rakyat seharusnya tidak perlu "menyerahkan" tubuhnya demi mendapatkan hak yang semestinya diberikan secara cuma-cuma sebagai warga negara.
Martabat Tak Bisa Ditukar
Setiap kebijakan yang menyentuh tubuh manusia harus berangkat dari prinsip penghormatan terhadap martabat. Dalam masyarakat demokratis, tubuh bukanlah alat tukar. Ketika negara mulai memperdagangkan tubuh demi angka keberhasilan program, maka negara telah gagal memahami esensi dari pelayanan publik.
Sterilisasi bukanlah musuh. Vasektomi bisa menjadi pilihan sah, bahkan bijak, dalam banyak kondisi—jika dipilih secara sadar, tanpa tekanan, dan dilandasi informasi lengkap. Namun, menjadikannya prasyarat bansos adalah bentuk kekerasan simbolik yang harus ditolak.
Negara ada bukan untuk menguasai tubuh rakyatnya, tetapi untuk memastikan tubuh itu terlindungi. Jika bantuan sosial disyaratkan dengan menyerahkan kendali atas tubuh, maka sejatinya itu bukan bantuan. Itu bentuk baru perampasan hak.