Mengupas Mitologi Sang Maut dalam Film Final Destination: Bloodlines

Hernawan | Athar Farha
Mengupas Mitologi Sang Maut dalam Film Final Destination: Bloodlines
Poster Film Final Destination - Bloodlines (IMDb)

Salah satu hal yang bikin aku cukup kagum sama Film Final Destination: Bloodlines, terkait keberaniannya yang nggak lagi main aman. 

Sobat Yoursay sudah nonton? Kalau belum, aku sudah buat artikel review filmnya dan silakan dikepoin. Pembahasan kali ini fokus pada ‘maut’ itu sendiri yang menghantui sejak film pertama. 

Di saat banyak waralaba horor makin dangkal seiring bertambahnya sekuel, film ini justru mencabut akar dari semua kekacauan yang sudah terjadi sejak film pertama. 

Kita akhirnya diajak buat mikir: Sebenarnya, apa sih yang bikin ‘kematian’ atau ‘maut’ begitu ngotot menagih nyawa?

Selama lima film sebelumnya, ‘kematian’ itu kayak entitas nggak terlihat yang kerjanya ngatur ulang takdir lewat serangkaian peristiwa absurd dan brutal. Semua orang bisa jadi korban tagihan sang maut, asal mereka pernah lolos dari tragedi sebelumnya. Dan semuanya berhenti di situ, nggak ada penjelasan, nggak ada konteks, cuma siklus berdarah yang berulang. 

Nah, dalam sekuel keenam, ‘Bloodlines’ terasa beda. Film ini akhirnya ngasih konteks historis dan spiritual. Nggak cuma soal siapa yang mati, tapi kenapa mereka harus mati. Dan lebih penting lagi: Siapa yang mungkin ikut bertanggung jawab.

Waktu film mengungkap, kalau tragedi yang dialami Stefani ternyata berakar dari kejadian yang dialami neneknya, Iris, di tahun 1968, aku langsung ngeh, ini bukan cerita horor remaja yang ditakdirkan tewas satu per satu. Ini sudah masuk ke ranah warisan, beban antar generasi, dan hutang yang mungkin nggak disadari tapi tetap harus dibayar. Dengan begitu, plotnya pun jadi ngasih sentuhan folklore tanpa harus kehilangan nuansa gore yang jadi ciri khas waralaba ini.

Dan yang bikin makin menarik, ‘Bloodlines’ juga nggak jatuh ke lubang klise film kutukan. Nggak ada mantra, nggak ada medium, nggak ada ritual sakral yang norak. Semua tetap dibingkai dengan logika dunia ‘Final Destination’, di mana kematian alias maut adalah musuh nggak terlihat, tapi punya aturan main yang rapi. Namun kini, aturan itu terasa lebih jadi lebih tua, lebih kuno, kayak sudah tertulis jauh sebelum karakter-karakter sepanjang saga ‘Final Destination’ lahir. Itu bikin atmosfernya jadi jauh lebih mencekam. 

Yang juga layak disorot tentu saja kemunculan lagi William Bludworth, si penjaga rahasia yang sudah jadi ikon tersendiri di franchise ini. Kali ini dia nggak cuma jadi cameo misterius yang muncul buat ngasih peringatan. Dalam ‘Bloodlines’, dia kayak punya peran sebagai penyambung zaman, yang tahu sejarah, tahu aturan main, tapi juga tahu kalau sistem dari sang maut sudah mulai retak.

Entah dia itu cuma manusia yang pernah selamat dari maut dan atau melihat terlalu banyak serangan Sang Maut, atau memang perwujudan kematian itu sendiri, kehadirannya kali ini jauh lebih berkesan. Setiap kata-katanya kayak punya bobot mitologi, tapi tetap ambigu. Dan itu menarik banget. 

Film ini juga pintar karena nggak ngasih semua jawaban di atas meja. Masih ada misteri yang digantung, masih ada ruang untuk teori. Namun bedanya, sekarang kita nggak cuma mikir soal gimana cara korban berikutnya bakal mati, tapi juga mikir: “Apakah ada cara buat keluar dari siklus itu?” Itulah pertanyaan yang jauh lebih menarik ketimbang cuma penasaran siapa yang bakal mati duluan dan selanjutnya. 

Kalau franchise ini mau terus hidup, menurutku, Film Final Destination - Bloodlines sudah ngasih blueprint yang solid, yang menggabungkan horor gore dengan mitologi yang kuat dan karakter yang emosional. Karena horor yang baik bukan cuma soal darah, tapi juga soal beban. Baik beban sejarah, maupun beban pilihan.

Jangan sampai terlewat, Film Final Destination: Bloodlines sedang tayang di bioskop!

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak