REGENERASI atau status quo menjadi dua opsi yang dimiliki Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang akan turut menentukan arah kepemimpinan PDIP serta paras politik Indonesia ke depan.
Tahun ini, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bakal menggelar kongresnya yang keenam. Salah satu agenda utama kongres adalah menentukan jabatan ketua umum untuk periode lima tahun mendatang.
Salah satu pertanyaan besarnya adalah: apakah Megawati Soekarnoputri akan tetap melanjutkan kepemimpinannya atau justru dengan legawa menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan kepada generasi berikutnya?
Selama ini, Megawati – yang oleh sementara kalangan dijuluki sebagai Mak Banteng -- bukan hanya sekadar Ketua Umum PDIP, tetapi juga merupakan simbol dari keberlangsungan dan eksistensi Partai Moncong Putih ini.
Figur sentral
Sejak mendirikan PDIP pada tahun 1999, Megawati telah menjadi figur sentral yang mengarahkan kebijakan partai dan mengawal keberlanjutan visi serta ideologi PDIP. Kepemimpinannya selama beberapa dekade tak cuma membawa partai ini melewati berbagai tantangan politik, tetapi juga menjadikannya sebagai salah satu kekuatan politik utama di Indonesia.
Di bawah kepemimpinannya, PDIP berhasil menorehkan sejarah dengan memenangi pemilu legislatif dan mengantarkan kader terbaiknya waktu itu, Joko Widodo, sebagai Presiden Republik Indonesia selama dua periode berturut-turut.
Namun, di tengah kekuatan simboliknya, mengapung sebuah pertanyaan ihwal regenerasi kepemimpinan di tubuh PDIP. Apakah partai ini mampu tetap eksis serta solid tanpa kehadiran langsung Megawati sebagai pemimpin?
Sejauh ini, kekuatan politik Megawati sendiri terletak pada kemampuannya untuk menggabungkan nilai-nilai nasionalisme dengan perjuangan rakyat kecil alias wong cilik, yang banyak diapresiasi oleh para kader dan pendukung PDIP.
Meskipun demikian, peran Megawati selama ini yang demikian dominan di PDIP juga membawa tantangan tersendiri. Seiring waktu, ada kesan bahwa PDIP cenderung menjadi partai yang terpusat pada figur Megawati. Hal ini mengarah pada kekhawatiran bahwa regenerasi kepemimpinan dalam tubuh partai ini tidak berjalan dengan baik.
Ketergantungan yang terlalu besar pada satu figur, meskipun memiliki rekam jejak yang solid, bagaimanapun, dapat menimbulkan krisis kepemimpinan partai ketika terjadi masalah internal atau eksternal yang melibatkan partai tersebut.
Kasus hukum yang menjerat Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, misalnya, telah memberikan dampak signifikan terhadap citra partai ini. Seperti diketahui, Hasto yang merupakan sebagai salah satu figur penting dalam struktur kepemimpinan PDIP kini sedang terlibat dalam perkara suap terkait buronan Harun Masiku, serta dugaan perintangan penyidikan.
Kasus Hasto ini memicu perdebatan ihwal sejauh mana Megawati, sebagai Ketua Umum PDIP, bertanggung jawab terhadap kader-kadernya yang terlibat dalam skandal hukum.
Effendi Simbolon, mantan kader PDIP, dalam pernyataannya, beberapa waktu lalu, menekankan soal pentingnya pertanggungjawaban Megawati dengan mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum PDIP.
Effendi melihat bahwa sebagai seorang pemimpin, Megawati seharusnya menunjukkan sikap ksatria dengan mengundurkan diri untuk memberikan ruang bagi evaluasi dan regenerasi dalam tubuh PDIP.
Pengunduran diri ini, menurut Effendi, bakal dikenang sebagai langkah besar dalam sejarah partai dan sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap apa yang terjadi di bawah kepemimpinan Megawati.
Masih banyak yang mendukung
Di sisi lain, di tengah gonjang-ganjing yang menerpa partai ini buntut dari kasus Hasto, toh hingga kini masih banyak kader PDIP yang tetap mendukung Megawati untuk melanjutkan kepemimpinannya. Para pendukung Megawati berargumen bahwa PDIP tetap membutuhkan figur yang stabil dan berpengalaman untuk menghadapi tantangan politik ke depan.
Di internal partai sendiri, muncul berbagai spekulasi ihwal adanya pihak-pihak yang mengincar kursi ketua umum. Hal ini menunjukkan bahwa PDIP sebagai partai besar juga rentan terhadap dinamika kekuasaan.
Di sisi lain, PDIP juga harus berhadapan dengan tantangan eksternal, termasuk persaingan dengan partai-partai politik lain menjelang Pemilu 2029.
Kongres tahun ini akan memastikan apakah PDIP memilih regenerasi atau status quo. Jika regenerasi menjadi pilihan, nama-nama seperti Puan Maharani dan Prananda Prabowo, dua tokoh muda yang juga memiliki ikatan darah dengan Megawati, dapat menjadi kandidat kuat.
Puan Maharani memiliki pengalaman panjang di dunia politik, termasuk sebagai Ketua DPR RI. Adapun Prananda Prabowo dikenal sebagai sosok strategis di balik layar yang mengelola urusan internal partai.
Namun, kemungkinan besar pula Megawati tetap menjadi ketua umum dan kembali memegang sepenuhnya kendali partai, setidaknya untuk memastikan transisi ke depan berjalan mulus.
Pilihan status quo ini dapat memberikan waktu bagi calon pemimpin baru PDIP untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin menghadapi tantangan politik nasional yang boleh jadi semakin dinamis.
Menghadapi tugas berat
Terlepas dari hal tersebut, siapa pun yang terpilih sebagai Ketua Umum PDIP pascakongres nanti bakal menghadapi tugas berat.
Pertama, ia harus menjaga kesinambungan ideologi partai yang berakar pada ajaran Bung Karno. Kedua, ia harus memastikan PDIP tetap relevan di tengah perubahan lanskap politik Indonesia. Dan ketiga, ia harus mempersiapkan partai untuk menghadapi Pemilu 2029 dengan strategi dan pendekatan yang tepat.
Jika pada ujungnya Megawati memutuskan untuk menyerahkan kepemimpinan, maka regenerasi harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak memicu perpecahan di internal partai.
Sebaliknya, jika Megawati tetap memimpin PDIP, tantangannya adalah bagaimana mempersiapkan kader-kader muda untuk benar-benar siap menerima tongkat kempemimpinannya di masa depan.
Pada akhirnya, gelaran Kongres VI PDIP tahun ini bakal menjadi momen krusial dalam sejarah partai ini. Keputusan yang diambil tidak hanya akan menentukan arah kepemimpinan PDIP, tetapi juga turut menentukan paras politik Indonesia ke depan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS