Setiap pagi, jalanan dipenuhi deru kendaraan. Motor saling selip, mobil berjajar rapat, dan klakson bersahut-sahutan seperti orkestra tanpa konduktor. Di tengah kebisingan itu, spanduk besar terpampang di jalan protokol: "Menuju Kota Rendah Emisi 2030". Ironisnya, jalan di bawahnya justru makin sesak.
Pemerintah kota di berbagai wilayah Indonesia menjanjikan peralihan ke transportasi umum sebagai solusi mengurangi polusi dan mencapai target net-zero emission. Namun satu pertanyaan terus bergema, jika transportasi umum adalah jawaban, mengapa kita masih memilih kendaraan pribadi?
Janji Emisi Rendah di Atas Kertas
Indonesia telah menetapkan target pengurangan emisi karbon sebesar 31,89% pada 2030 secara mandiri, dan 43,2% dengan bantuan internasional. Di sektor transportasi, bus listrik, MRT, LRT, hingga revitalisasi angkot menjadi proyek andalan yang dielu-elukan sebagai solusi hijau. Jakarta bahkan membidik nol emisi pada 2050, menjadikan transportasi umum sebagai ujung tombak perubahannya.
Bandung dan Surabaya tak mau ketinggalan. Pemprov Jawa Barat memulai pembangunan koridor BRT Bandung Raya, sementara Surabaya menambah 11 unit bus listrik pada akhir 2024. Semua mengusung semangat ramah lingkungan. Tapi benarkah cukup?
Jakarta mungkin kota paling maju secara infrastruktur transportasi umum. MRT membelah kota, TransJakarta menghubungkan pinggiran, dan LRT mengangkut penumpang tanpa emisi. Bahkan 300 bus listrik kini beroperasi, menyampaikan komitmen pada pengurangan karbon.
Namun di sisi lain, halte-halte TransJakarta terbengkalai, tak sedikit yang rusak karena vandalisme dan pencurian. Salah satunya, Halte Cakung, kehilangan atap dan pagar sehingga meninggalkan pengguna duduk di bawah terik matahari atau hujan. Padahal, kenyamanan adalah syarat dasar agar orang berpindah dari kendaraan pribadi ke moda publik.
Menurut data Kemenhub, pengguna transportasi umum di Jabodetabek masih di bawah 20%. Jarak tempuh ke halte, ketidaktepatan jadwal, serta kepadatan penumpang menjadi alasan utama. Komitmen emisi yang ditulis dalam RPJMD jadi terasa menggantung ketika pengalaman sehari-hari justru menunjukkan rasa enggan naik bus.
Bandung: Ketika Angkot dan BRT Tak Saling Bicara
Di Bandung, pemerintah sedang mengembangkan BRT Bandung Raya dengan ambisi membuat warga “beralih dari motor ke bus”. Namun saat ini, 94% angkutan umum kota masih berupa angkot konvensional yang berjalan tanpa integrasi, tanpa sistem yang jelas, dan sering kali berhenti sembarangan.
Komunitas pegiat transportasi seperti WALHI Jabar menyebut bahwa pendekatan pembangunan terlalu teknokratis. Mereka menilai bahwa kenyamanan, aksesibilitas bagi disabilitas, dan keandalan layanan belum menjadi prioritas. Meskipun uji coba angkot listrik sudah digagas, pertanyaannya tetap sama: apakah masyarakat benar-benar akan naik jika trayek tak sesuai, atau sopir masih ngetem hingga penuh?
Ironisnya, tarif angkot Bandung terbilang murah, yaitu sekitar Rp4.000. Bahkan survei Kompas mencatat bahwa pengguna angkutan umum hanya menghabiskan sekitar Rp400 ribu per bulan, jauh lebih hemat dibanding pengguna motor yang menghabiskan Rp1,3 juta. Tapi harga murah tak cukup. Karena rasa nyaman dan kejelasan arah jauh lebih berharga dari sekadar ongkos.
Surabaya: Bus Listrik yang Masih Belum Menyentuh Warga
Surabaya kerap disebut sebagai kota dengan tata kelola yang rapi. Tapi saat bicara transportasi umum, tantangan tetap ada. Program bus listrik memang mengesankan di permukaan, dengan 11 unit baru ditambah ke armada Trans Semanggi. Namun dalam kota berpenduduk 3 juta jiwa, jumlah ini terlalu kecil untuk membuat perbedaan nyata.
Jarak antar bus bisa mencapai 30 menit. Banyak warga masih harus naik ojek setelah turun dari Suroboyo Bus karena trayek tidak menjangkau permukiman. Integrasi antarmoda juga belum optimal. Jadi, penumpang harus bayar dua kali jika berpindah dari Trans Semanggi ke Suroboyo Bus.
Kasus keterlambatan, rute yang tak jelas, dan tidak adanya sistem real-time tracking membuat warga enggan menggunakan layanan ini. Padahal, tarif Rp5.000 sangat terjangkau. Tapi ketika kenyamanan dan efisiensi tidak hadir, warga lebih memilih motor yang siap sedia di depan rumah.
Surabaya kerap disebut sebagai kota dengan tata kelola yang rapi. Tapi saat bicara transportasi umum, tantangan tetap ada. Program bus listrik memang mengesankan di permukaan, dengan 11 unit baru ditambah ke armada Trans Semanggi. Namun dalam kota berpenduduk 3 juta jiwa, jumlah ini terlalu kecil untuk membuat perbedaan nyata.
Membangun transportasi umum bukan hanya soal membeli armada baru atau mencetak brosur kampanye ramah lingkungan. Itu tentang melayani manusia. Tentang bagaimana ibu-ibu bisa mengantar anak sekolah tanpa tiga kali ganti moda. Tentang bagaimana penyandang disabilitas bisa naik bus tanpa ragu. Tentang bagaimana waktu tempuh bisa diprediksi tanpa ketidakpastian yang menyebalkan.
Sayangnya, yang kerap terjadi adalah pendekatan dari atas ke bawah. Pemerintah membangun moda, tapi melupakan sistem layanan. Membangun halte, tapi lupa memperbaiki jalan trotoar menuju ke sana. Meresmikan bus listrik, tapi tanpa aplikasi yang menunjukkan keberadaannya secara real-time.
Transportasi umum seharusnya menjadi hak dasar, bukan pilihan terakhir. Ia bukan hanya alat mobilitas, tapi kunci untuk membuka ruang kota yang lebih adil, lebih hijau, dan lebih manusiawi.
Ketika pemerintah bicara tentang emisi dan keberlanjutan, masyarakat pun harus diberi ruang untuk menuntut hal yang sama: layanan yang ramah, nyaman, dan layak. Karena tak ada gunanya bus tanpa asap, jika pengguna masih berkeringat karena duduk di halte yang hancur.