Gaslighting dan Bullying: Kombinasi Mematikan dalam Hubungan Pertemanan

Lintang Siltya Utami | e. kusuma .n
Gaslighting dan Bullying: Kombinasi Mematikan dalam Hubungan Pertemanan
ilustrasi perilaku bullying (Pexels/cottonbro studio)

Dalam relasi pertemanan, kita sering banyak belajar dari pengalaman kalau teman bisa menjadi tempat aman untuk berbagi cerita, dukungan, dan tumbuh bersama. Namun, ternyata tidak semua hubungan pertemanan sehat.

Ada kalanya pertemanan justru menjadi sumber luka psikologis, terutama saat gaslighting dan bullying hadir bersamaan. Kombinasi ini bisa sangat berbahaya karena sering kali tidak disadari oleh korban, bahkan dianggap sebagai “canda” atau dinamika biasa dalam pergaulan.

Fenomena ini makin sering dibicarakan, terutama di kalangan Gen Z, yang mulai sadar pentingnya kesehatan mental dan batasan relasi. Sayangnya, banyak orang masih belum memahami bagaimana gaslighting dan bullying bisa saling berkaitan dalam hubungan pertemanan.

Apa Itu Gaslighting dalam Pertemanan?

Gaslighting adalah bentuk manipulasi psikologis yang membuat seseorang meragukan perasaan, ingatan, atau persepsinya sendiri. Dalam konteks pertemanan, gaslighting sering muncul secara halus.

Misalnya lewat kalimat seperti “Kamu terlalu sensitif, ah”, “Kamu lebay, aku cuma bercanda”, “Perasaan kamu aja yang salah”, atau “Aku nggak pernah bilang begitu, kamu ngarang”.

Kalimat-kalimat ini mungkin terdengar sepele, tapi jika terus diulang bisa membuat korban kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri. Mereka mulai mempertanyakan apakah perasaannya valid, apakah mereka terlalu drama, atau apakah memang pantas diperlakukan seperti itu.

Gaslighting sering sulit dikenali karena tidak selalu disertai kekerasan verbal terang-terangan. Justru, pelakunya kerap tampil sebagai “teman baik” yang terlihat rasional dan logis.

Bullying dalam Lingkar Pertemanan: Tidak Selalu Kasar, Tapi Menyakitkan

Bullying tidak hanya terjadi di sekolah atau tempat kerja, tapi juga dalam lingkar pertemanan. Bentuknya bisa berupa mengejek kekurangan, menjadikan bahan lelucon, mengucilkan secara sosial, menyebarkan aib, merendahkan pencapaian, hingga mengontrol atau mendominasi.

Yang membuat bullying dalam pertemanan sulit disadari adalah karena sering dibungkus dengan dalih “bercanda”, “sudah akrab”, atau “biar kamu kuat”. Padahal, candaan yang sehat tidak membuat seseorang merasa kecil, malu, atau tidak aman.

Saat Gaslighting dan Bullying Berkolaborasi

Masalah menjadi lebih serius saat bullying disertai gaslighting. Kolaborasi inilah yang membuat kombinasi keduanya sangat berbahaya.

Contohnya, seseorang diledek terus-menerus di depan teman lain. Ketika ia menyampaikan bahwa dirinya tidak nyaman, respons yang muncul justru dianggap baper atau berlebihan.

Di sinilah gaslighting bekerja, di mana perasaan korban dipatahkan, realitasnya dipelintir, dan bullying seolah dibenarkan. Akibatnya, korban mulai berpikir kalau masalah ada pada dirinya, bukan pada perilaku temannya.

Lama-kelamaan, korban bisa menerima perlakuan buruk sebagai sesuatu yang “normal”. Dampak psikologis pun muncul berupa penurunan kepercayaan diri, overthinking berlebihan, sulit percaya orang lain, hingga merasa tidak layak punya batasan.

Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa berkontribusi pada stres kronis, gangguan kecemasan, bahkan depresi. Ironisnya, banyak korban tetap bertahan karena takut kehilangan pertemanan atau dicap “terlalu sensitif”.

Mengapa Banyak Orang Tak Sadar Sedang Mengalami Ini?

Ada beberapa alasan mengapa gaslighting dan bullying dalam pertemanan sering luput disadari. Salah satunya, faktor budaya bercanda yang berlebihan di mana lingkungan kerap menormalisasi ejekan sebagai bentuk keakraban.

Apalagi kalau suara korban terbungkam hanya karena takut dianggap drama, dicap berlebihan atau lemah, hingga merasa tidak punya posisi untuk melawan. Parahnya lagi, pelaku cenderung dominan dan korban kehilangan kuasa atas penerapan batasan.

Belajar Menarik Batas dan Memilih Diri Sendiri

Saat menyadari suatu pertemanan menyakitkan, bukan berarti kamu lemah. Justru hal ini jadi tanda kamu mulai sadar kalau berhak memiliki teman yang menghargai perasaan, mendengarkan, dan tidak menjadikanmu bahan validasi atau hiburan.

Menarik batas bisa dimulai dari hal kecil, seperti mengurangi intensitas komunikasi, menolak candaan yang menyakiti, atau berani berkata “aku nggak nyaman”. Jika tidak ada perubahan, menjauh bukan berarti egois tapi bentuk perlindungan diri.

Pertemanan Sehat Tidak Membuatmu Meragukan Diri Sendiri

Gaslighting dan bullying adalah kombinasi mematikan dalam hubungan pertemanan karena perlahan mengikis rasa percaya diri tanpa disadari. Teman seharusnya menjadi ruang aman, bukan sumber luka batin.

Di era yang makin sadar kesehatan mental, penting bagi kita untuk lebih peka. Bukan hanya soal siapa yang menemani kita, tapi juga bagaimana mereka memperlakukan kita. Karena pertemanan yang sehat tidak membuatmu merasa kecil, bingung, atau terus mempertanyakan nilai diri.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak