Hoaks dan Deepfake: Saat Dunia Maya Menentukan Realita Kita

Bimo Aria Fundrika | Akrima Amalia
Hoaks dan Deepfake: Saat Dunia Maya Menentukan Realita Kita
Ilustrasi fakta yang sebenarnya dengan berita yang palsu. (Unsplash/HartonoCreativeStudio)

Pernah nggak sih kamu lihat sebuah video viral, terus tanpa pikir panjang langsung percaya? Misalnya, ada potongan video seorang pejabat ngomel kasar, artis kedapatan melakukan hal yang memalukan, atau bahkan tokoh publik mengucapkan kalimat yang memicu kontroversi.

Timeline penuh komentar, portal berita buru-buru mengutip, opini publik keburu terbentuk, lalu beberapa hari kemudian baru muncul klarifikasi: ternyata itu palsu.

Inilah wajah dunia digital kita sekarang: dunia di mana hoaks dan deepfake bisa lebih cepat dipercaya daripada fakta yang sesungguhnya.

Era hoaks yang tidak pernah usai

Ilustrasi hoax (Unsplash/HartonoCreativeStudio)
Ilustrasi hoax (Unsplash/HartonoCreativeStudio)

Sebenarnya, hoaks atau berita bohong bukanlah hal baru. Jauh sebelum ada internet, masyarakat kita sudah akrab dengan isu-isu menyesatkan. Dulu bentuknya mungkin berupa selebaran, kabar burung dari mulut ke mulut, atau berita di koran abal-abal. Bedanya, kalau dulu butuh waktu lama untuk menyebar, sekarang cukup hitungan detik.

Media sosial mempercepat segalanya. Sebuah hoaks bisa menjangkau ribuan orang hanya dengan satu klik "share." Apalagi kalau hoaks tersebut menyentuh emosi: entah itu marah, takut, atau harapan. Penyebarannya akan jauh lebih cepat daripada berita biasa.

Data dari Kementerian Kominfo menunjukkan bahwa dalam tahun 2024 saja ada ribuan konten hoaks yang terdeteksi, sebagian besar terkait politik dan kesehatan. Artinya, kita memang hidup dalam banjir informasi yang bercampur antara fakta dan kebohongan.

Munculnya deepfake: kebohongan yang nyaris sempurna

Ilustrasi deepfake (Unsplash/MarkusWinkler)
Ilustrasi deepfake (Unsplash/MarkusWinkler)

Kalau hoaks biasanya berupa teks atau gambar, sekarang ada level baru: deepfake. Teknologi ini memanfaatkan kecerdasan buatan untuk memanipulasi wajah dan suara seseorang sehingga tampak nyata.

Dengan deepfake, seseorang bisa dibuat seolah-olah berkata atau melakukan sesuatu yang sama sekali tidak pernah terjadi. Video hasil rekayasa ini begitu realistis, sampai-sampai mata manusia sulit membedakan mana yang asli dan mana yang palsu.

Di Indonesia, fenomena deepfake mulai terasa dampaknya. Ada video politikus dengan pernyataan kontroversial yang ternyata palsu, ada artis yang wajahnya ditempelkan ke konten tidak senonoh, bahkan ada konten lucu-lucuan yang memanfaatkan wajah publik figur.

Sekilas mungkin tampak remeh, tapi bayangkan kalau deepfake digunakan untuk menyebarkan fitnah politik menjelang pemilu, atau untuk merusak reputasi seseorang di dunia kerja. Efeknya bisa sangat merusak.

Kenapa orang mudah percaya?

Ilustrasi social media (Unsplash/MariiaShalabaieva)
Ilustrasi social media (Unsplash/MariiaShalabaieva)

Pertanyaan pentingnya adalah: kenapa orang mudah percaya?

1. Echo Chamber Media Sosial
Algoritma media sosial dirancang untuk menyajikan konten yang sesuai dengan minat kita. Kalau kita sering klik konten politik tertentu, maka timeline kita akan penuh dengan hal serupa. Akibatnya, kita terjebak di dalam echo chamber: ruang gema di mana kita hanya mendengar apa yang ingin kita dengar.

Kalau ada video atau berita yang sesuai dengan keyakinan pribadi, kita cenderung langsung percaya tanpa cek lebih jauh.

2. Literasi Digital Masih Rendah
Menurut data We Are Social 2025, jumlah pengguna internet di Indonesia sudah lebih dari 200 juta orang. Tapi kemampuan literasi digital masih jadi PR besar. Banyak orang belum terbiasa melakukan verifikasi sederhana, misalnya mengecek sumber, mencari berita pembanding, atau sekadar melihat tanggal unggahan.

3. Budaya "Share dulu, pikir belakangan"
Fenomena fear of missing out (FOMO) juga memperparah situasi. Banyak orang takut dianggap kudet alias kurang update. Akhirnya, yang penting cepat share, meskipun belum tahu benar atau tidak.

Dampak nyata di kehidupan

Ilustrasi kerusuhan tempat (Unsplash/PawelJaniak)
Ilustrasi kerusuhan tempat (Unsplash/PawelJaniak)

Hoaks dan deepfake bukan sekadar masalah iseng-iseng. Ada dampak nyata yang bisa mengganggu kehidupan sosial kita.

1. Kerusuhan sosial. Hoaks bisa memicu massa untuk marah, turun ke jalan, bahkan melakukan kekerasan.
2. Reputasi hancur. Seseorang bisa kehilangan pekerjaan atau kepercayaan publik hanya karena video deepfake yang viral.
3. Krisis kepercayaan. Masyarakat bingung membedakan mana berita asli, mana yang palsu. Akibatnya, kepercayaan pada media dan pemerintah menurun.

Dalam jangka panjang, ini berbahaya. Bayangkan kalau publik tidak lagi percaya pada informasi resmi. Negara bisa kehilangan kendali, dan masyarakat terpecah karena informasi yang salah.

Siapa yang bertanggung jawab?

Ilustrasi diri sendiri (Unsplash/RandyJacob)
Ilustrasi diri sendiri (Unsplash/RandyJacob)

Pertanyaan berikutnya: siapa yang harus bertanggung jawab?

1. Platform Digital
Perusahaan seperti TikTok, Meta, YouTube, dan X punya peran besar. Mereka harus memperketat moderasi konten, membuat sistem deteksi deepfake yang lebih canggih, dan menindak akun penyebar hoaks.

2. Pemerintah
Pemerintah tentu perlu hadir. Tetapi bukan sekadar dengan cara memblokir situs atau memidanakan warganya. Yang jauh lebih penting adalah edukasi literasi digital sejak dini, agar masyarakat bisa lebih kritis menghadapi informasi.

3. Individu
Dan tentu saja, tanggung jawab terbesar ada pada kita sebagai pengguna. Mulailah dari hal kecil: jangan asal percaya, jangan asal share. Biasakan cek fakta, misalnya dengan memanfaatkan situs-situs pemeriksa fakta yang sudah ada.

Bagaimana melindungi diri?

Ilustrasi gambar lampu (Unsplash/AbsolutVision)
Ilustrasi gambar lampu (Unsplash/AbsolutVision)

Ada beberapa cara praktis agar kita tidak mudah terkecoh oleh hoaks dan deepfake:

1. Cek sumber. Jangan hanya percaya pada konten dari akun anonim.
2. Lihat detail. Video deepfake biasanya punya kejanggalan kecil pada wajah atau suara.
3. Cari pembanding. Kalau memang berita penting, pasti ada liputan dari media arus utama.
4. Tunda sharing. Kalau ragu, lebih baik jangan disebarkan dulu.

Mungkin terdengar sederhana, tapi kebiasaan-kebiasaan kecil ini bisa membuat perbedaan besar.

Dunia maya yang menentukan realita

Ilustrasi dunia maya (Unsplash/ChristineSandu)
Ilustrasi dunia maya (Unsplash/ChristineSandu)

Hari ini, dunia maya tidak lagi sekadar tempat hiburan. Apa yang viral di media sosial bisa menentukan opini publik, memengaruhi keputusan politik, bahkan mengubah kehidupan seseorang.

Kita sedang hidup di masa di mana "apa yang kita lihat" tidak selalu berarti "apa yang benar-benar terjadi."

Karena itu, penting sekali untuk membangun sikap kritis. Jangan biarkan hoaks dan deepfake mengendalikan cara kita melihat dunia.

Seperti sebuah pepatah modern:
"Di era deepfake, kebenaran bukan lagi apa yang kita lihat, tapi apa yang kita verifikasi."

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak

Ingin dapat update berita terbaru langsung di browser Anda?