Ada satu hal yang selalu berulang dalam panggung politik kita, rakyat kecil sering dijadikan ornamen, bukan subjek. Mereka dipanggil, dipotret, ditampilkan, tapi jarang sungguh-sungguh didengar. Dan minggu-minggu ini, panggung itu kembali hadir dalam bentuk yang lebih tragikomik. Iya, Gibran Rakabuming, wakil presiden RI, di istana wapres berhadap-hadapan dengan orang-orang yang diklaim ‘driver ojol’. Namun, belakangan terungkap ada banyak kejanggalan.
Para ‘ojol’, profesi yang lahir dari krisis ekonomi dan berkembang jadi denyut nadi urban, dipinjam hanya sebatas obrolan ‘berbagi aspirasi’ dan sesi foto. Di mata publik, ini lebih mirip pertunjukan sandiwara daripada ruang dialog. Publik lalu bertanya, “Ini sungguh aspirasi rakyat, atau dekorasi politik buat pencitraan?”
Kita tahu betul wajah nyata seorang driver ojol. Biasanya, jaket hijau mereka sudah lusuh, warnanya pudar karena hujan dan terik yang silih berganti. Bau bensin dan asap knalpot menempel di tubuh, seakan-akan jadi parfum jalanan yang nggak bisa dihapus. Sepatu yang dipakai pun sering kali aus, bekas ribuan kilometer perjalanan. Dan di mata mereka, ada letih yang nggak bisa disembunyikan, hasil dari belasan jam menembus macet, panas, dan hujan demi mengantar hidup pulang ke rumah.
Dan itu kontras sekali dengan sosok yang duduk di dekat wakil presiden, Gibran Rakabuming. Mereka mengenakan jaket hijau kinclong, sepatu merek mahal, wajah bersih seperti baru keluar dari salon. Apalagi asosiasi resmi ojol sendiri mengaku nggak mengenal orang-orang itu, bahkan menyebut mereka nggak mewakili siapa pun.
Ironi ini jadi lebih getir ketika kita ingat satu hal, hanya beberapa waktu lalu, ada pengemudi ojol bernama Affan Kurniawan kehilangan nyawa dalam tragedi yang menyayat hati. Itu seharusnya jadi momen renungan bagi negara, terkait bagaimana melindungi para pekerja gig economy yang tanpa jaminan sosial memadai, tanpa upah layak, dan terus ditekan algoritma aplikasi. Namun, bukannya membuka ruang diskusi serius, justru yang terlihat adalah drama pencitraan. Serius?
Pencitraan Politik?

Terlepas netizen menguliti banyak hal kejanggalan dari sesi pertemuan itu, toh kecurigaan rakyat nggak terlalu digubris. Dan sampai detik ini, kecurigaan yang tersemat pun hanya jadi sebatas konspirasi pencitraan politik yang gagal.
Tentu saja ini sangat disayangkan. Dan tentu saja ini bukan pencitraan gagal semata. Ini soal martabat rakyat kecil yang dipermainkan. Ada semacam keyakinan arogan dari elit politik bahwa rakyat bisa dikelabui dengan mudah, cukup dengan seragam hijau, senyum kamera, dan narasi ‘merakyat’. Padahal publik kita jauh lebih cerdas daripada itu. Media sosial jadi saksi saat netizen membongkar kejanggalannya, mengolok-olok, dan menyebarkan foto-foto perbandingan yang makin menelanjangi kepalsuan panggung pertemuan itu.
Kalau kita tarik mundur, pola ini nggak baru lho. Dari dulu, penguasa selalu suka menggunakan wajah rakyat kecil sebagai legitimasi. Petani sering dipanggil hanya untuk jadi latar pidato, nelayan diajak ke panggung tapi nggak pernah dilibatkan dalam penyusunan kebijakan. Kini giliran ojol dijadikan figuran? Hmmm … seolah-olah sejarah berulang, rakyat hanya alat bukan suara.
Apa jadinya sebuah negara kalau pemimpinnya lebih sibuk membangun teater citra ketimbang mendengar jeritan nyata rakyatnya? Demokrasi yang mestinya jadi ruang partisipasi, berubah jadi panggung sandiwara. Rakyat yang mestinya jadi subjek, berubah jadi kostum yang bisa dipakai dan dilepas sesuai kebutuhan.
Lebih menyakitkan lagi, di balik semua ini ada ketidakadilan struktural yang nyata. Para driver ojol asli hari ini masih bergulat dengan realita, yang mana orderan makin sepi, potongan aplikasi makin besar, harga bensin mencekik, cicilan motor menunggu tiap bulan. Mereka bahkan sering jadi korban kekerasan di jalan, tanpa perlindungan hukum yang memadai. Sementara itu, di meja istana, ‘wakil’ mereka malah asyik berpose, membawa aspirasi yang entah dari mana asalnya.
Dan mari kita jujur, rakyat sudah muak dengan sandiwara macam ini. Kita nggak lagi hidup di zaman ketika kamera bisa menipu segalanya. Kita berada di era ketika publik bisa menguliti fakta dalam hitungan menit. Dari sepatu yang berkilau sampai istilah ‘taruna’ yang terdengar janggal, semuanya terbongkar di hadapan publik yang kian kritis.
Sejarah akan mencatat momen ini bukan sebagai bukti kedekatan pemimpin dengan rakyat, melainkan sebagai contoh buruk pencitraan.
Rakyat nggak butuh aktor dengan seragam hijau. Mereka butuh keberanian politik. Mereka butuh regulasi yang adil, perlindungan sosial yang nyata, dan penghargaan atas martabat mereka.
Karena politik tanpa keberanian untuk jujur hanyalah teater murahan. Dan rakyat bukan penonton pasif. Mereka punya ingatan dan suara menolak sandiwara dengan mengulitinya.
Sobat Yoursay percaya pertemuan itu bukan pencitraan?