Kalau kita buka halaman-halaman sejarah, tahun 1998 selalu muncul sebagai titik balik bangsa ini. Saat itu, mahasiswa dan masyarakat turun ke jalan, menyuarakan tuntutan dengan berani. Ada harga yang dibayar mahal, nyawa melayang, air mata jatuh, tetapi akhirnya lahirlah perubahan.
Dua puluh tujuh tahun kemudian, atmosfer itu terasa lagi. Kali ini bukan sekadar ribuan orang memenuhi jalanan, tetapi juga lewat dunia digital, kampus, komunitas, hingga influencer yang biasanya hanya kita kenal lewat konten edukasi. Mereka sama-sama menggaungkan sesuatu yang disebut 17+8 Tuntutan Rakyat.
Untuk sebagian orang, angka itu mungkin terdengar sekadar hitungan. Tetapi di balik 17+8, ada keresahan nyata, ada harapan yang tersusun, dan ada kemarahan yang sudah lama ditahan.
Apa itu 17+8 Tuntutan Rakyat?

17+8 Tuntutan Rakyat adalah rumusan gabungan: 17 tuntutan jangka pendek dan 8 tuntutan jangka panjang. Tuntutan tersebut lahir berdasarkan momentum demonstrasi besar yang merebak sejak akhir Agustus 2025.
Pemicunya sederhana tetapi menyakitkan: anggota DPR mendapat tunjangan rumah Rp50 juta per bulan, lebih dari sepuluh kali lipat upah minimum Jakarta.
Untuk masyarakat yang setiap hari harus menghitung ongkos hidup sampai receh terakhir, berita itu seperti bensin yang disiram ke api.
Apalagi setelah tragedi seorang driver ojol tewas ditabrak kendaraan taktis polisi di tengah aksi. Simbol kemarahan pun muncul: rakyat membawa sapu, seolah ingin menyapu bersih sistem yang dianggap kotor.
Di situlah 17+8 lahir. Tuntutan tersebut tidak hanya menolak tunjangan atau menuntut pencabutan revisi UU TNI. Tuntutan tersebut juga menyentuh hal-hal yang langsung dirasakan rakyat: pajak daerah yang melonjak, biaya hidup yang semakin mencekik, hak-hak pekerja informal, dan penegakan hukum yang sering terasa pilih kasih.
Simbol perlawanan yang membumi

Menariknya, gerakan ini tidak lahir dari ruang elit. Tidak ada satu tokoh tunggal yang mendikte. Yang ada adalah gabungan suara: mahasiswa, aktivis, buruh, ibu-ibu, bahkan kelompok perempuan yang mengenakan baju pink sambil membawa sapu ke jalan.
Di media sosial, influencer ikut menggaungkan, meminjamkan panggung mereka untuk isu yang lebih besar daripada sekadar algoritma.
Sapu yang dibawa ke jalan menjadi metafora sederhana tapi kuat. Semua orang tahu fungsi sapu: membersihkan. Dan ketika sapu itu diangkat tinggi, seolah rakyat bilang, "kami ingin rumah ini dibersihkan dari kerak yang menempel terlalu lama."
Antara reformasi simbolis dan perubahan nyata

Tentu, pemerintah tidak tinggal diam. Beberapa kebijakan langsung ditangguhkan. Tunjangan rumah ditunda, perjalanan dinas anggota DPR ke luar negeri dibatalkan. Akan tetapi, mari jujur: apakah itu cukup?
Kita tahu, selama ini respons cepat sering kali hanya bersifat kosmetik. Seperti menempelkan plester pada luka dalam yang sebenarnya butuh operasi. Reformasi simbolis mungkin meredakan amarah sejenak, tetapi tidak menyelesaikan akar masalah.
17+8 menuntut lebih dari sekadar penundaan. Menuntut perubahan cara berpikir, cara mengelola negara, dan cara memandang rakyat bukan sebagai angka, tapi sebagai manusia yang mempunyai suara.
Cermin kehidupan kita

Untuk saya pribadi, 17+8 bukan hanya daftar panjang yang bisa dibaca lalu dilupakan. Tuntutan tersebut seperti cermin besar. Ketika kita menatapnya, yang muncul bukan wajah elite politik atau pejabat tinggi. Yang muncul justru wajah kita sendiri: wajah rakyat yang lelah, yang marah, tetapi juga masih penuh harapan.
Wajah seorang mahasiswa yang harus kerja sambilan untuk bayar kuliah. Wajah seorang ibu rumah tangga yang harus kreatif mengatur uang belanja karena harga kebutuhan pokok naik. Wajah driver ojol yang tahu hidupnya berisiko di jalan, tetapi tetap bekerja demi keluarga. Semua wajah itu ada di balik 17+8.
Apakah semua bisa terwujud?

Pertanyaan besar berikutnya: apakah semua tuntutan itu realistis? Sejujurnya, saya ragu. Sejarah kita penuh dengan kompromi. Tuntutan yang lantang sering kali berakhir setengah jalan, atau malah dilupakan begitu saja ketika sorotan media mereda.
Akan tetapi di sinilah letak pentingnya 17+8. Ia menunjukkan bahwa rakyat kini lebih terorganisir, lebih sadar, dan lebih berani merumuskan apa yang mereka mau. Tidak lagi sekadar "demo turun ke jalan tanpa arah", tapi ada agenda jelas.
Meski tidak semua poin bisa diwujudkan, fakta bahwa rakyat bisa merumuskan 25 butir tuntutan menunjukkan kesadaran politik yang semakin matang. Itu sendiri sudah langkah maju.
Dari Pati ke Jakarta: Suara yang menggema

Kalau kita tarik lebih luas, fenomena ini bukan berdiri sendiri. Ingat demo besar di Pati, Jawa Tengah, awal Agustus lalu? Warga menolak kenaikan pajak PBB-P2 sebesar 250%. Sampai 100 ribu orang turun ke jalan, hasilnya pemerintah daerah mencabut kebijakan itu.
Apa artinya? Rakyat mulai sadar bahwa suara mereka punya daya. Dari Pati sampai Jakarta, dari desa ke ibu kota, ada benang merah: ketidakadilan ongkos hidup. Dan 17+8 adalah manifestasi nasional dari suara-suara itu.
Harapan di tengah kerikil jalan

Saya tidak ingin menutup mata bahwa jalan menuju perubahan selalu penuh kerikil. Ada yang akan memutarbalikkan narasi, ada yang akan mencoba membungkam, ada pula yang akan memberi janji palsu.
Namun, saya percaya, selagi suara rakyat masih bisa tersusun, diucapkan, dan diperjuangkan, harapan itu tidak pernah benar-benar hilang.
17+8 mungkin belum menjadi jawaban final. Tetapi tuntutan tersebut adalah pintu masuk menuju percakapan yang lebih besar: tentang keadilan sosial, tentang demokrasi yang hidup, dan tentang keberanian rakyat untuk tidak lagi diam.
17+8 Tuntutan Rakyat bukan sekadar angka. Ia adalah simbol, cermin, dan harapan. Ia lahir dari kemarahan, tapi juga dari cinta. Cinta pada negeri ini, yang terlalu berharga untuk dibiarkan tenggelam dalam ketidakadilan.
Mungkin, tidak semua butirnya akan terwujud. Mungkin, jalan masih panjang. Tetapi satu hal pasti: selama rakyat masih berani bersuara, bangsa ini masih punya peluang untuk bersih, adil, dan lebih manusiawi.
Dan siapa tahu, seperti 1998, suara yang hari ini terasa bising dan melelahkan, suatu saat akan dikenang sebagai titik balik kembali bagi bangsa ini.