Bullying di Sekolah: Refleksi Ruang Aman yang Gagal Tercipta

Hayuning Ratri Hapsari | Ernik Budi Rahayu
Bullying di Sekolah: Refleksi Ruang Aman yang Gagal Tercipta
Ilustrasi Pembelajaran di Sekolah (pexels.com/Max Fischer)

Fenomena bullying di Indonesia terjadi bak gunung es, kasus terus terjadi semakin meningkat bukan berkurang. Perundungan atau bullying agaknya masih menghantui berbagai lingkungan, khususnya sekolah.

Terbaru, kasus bullying terjadi di SMPN 19 Tangerang Selatan (Tangsel), Banten, yang ramai disorot publik usai korbannya meninggal dunia.

Siswa berinisial MH (13) yang hanya ingin menimba ilmu di sekolah namun menanggung nestapa. Sejak masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS), ia mengalami bullying hingga harus mendapat penanganan rumah sakit dan berujung meninggal dunia.

Tak bisa dipungkiri, sekolah memang selalu dibayangkan sebagai ruang aman. Sekolah adalah lembaga pendidikan tempat anak dapat belajar, bertumbuh, dan menimba ilmu. Memang sudah seharusnya murid bisa mengenal dunia itu tanpa perlu rasa terancam.

Sekolah memang sudah harusnya dijanjikan sebagai lingkungan yang inklusif, ramah, dan mampu menopang perkembangan setiap murid, apa pun latar belakangnya.

Melihat kasus perundungan yang terjadi di lingkungan sekolah, tentu kita bisa menilai bahwa sekolah yang harusnya menjadi ruang aman justru gagal melindungi hak dasar muridnya. Kasus-kasus terus bertambah, namun tak sedikit sekolah yang nyatanya tidak responsif dalam menangani bullying yang terjadi.

Itulah yang menjadi persoalannya, kita terlalu fokus kepada bagaimana untuk menemukan pelakunnya, tanpa berpikir bahwa terdapat masalah kompleks lainya, sekolah yang digadang-gadang menjadi ruang aman justru tidak bisa menempatkan keamanan emosional sebagai prioritas.

Nyatanya banyak sekolah yang masih tidak mampu menyediakan sistem yang aman untuk korban bullying. Akibatnya, ruang yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi anak justru berubah menjadi ruang menakutkan.

Melihat permasalahan yang terjadi, maka penulis merasa penting untuk membedah masalah bullying bukan hanya dari sisi perilaku, tetapi dari kegagalan sistemik yang membuat kekerasan sosial ini terus berulang.

Duty of Care yang gagal diberlakukan oleh sekolah

Disadur dari nationalcollege, Duty of Care mengacu pada tingkat tanggung jawab suatu organisasi atau individu atau kelompok untuk memastikan keselamatan, kesejahteraan, dan perkembangan orang-orang yang mereka asuh dalam organisasi mereka.

Dari perspektif pendidikan, ini berarti siswa dan kolega yang berada di bawah pengawasan sekolah atau lingkungan pendidikan. Pendidik harus menciptakan lingkungan yang mendukung dan aman di mana siswa dapat berkembang secara sosial, emosional, dan akademis. 

Yang menjadi masalah kemudian adalah saat ini sekolah-sekolah di Indonesia gagal untuk memberlakukan prinsip ini, padahal prinsip ini yang paling penting.

Aturan jelas, mekanisme tidak efektif

Dalam bentuk regulasi, pemerintah jelas telah membuat aturan yang konkrit untuk mencegah segala sesuatu bentuk kekerasan yang terjadi.

Pertama, ada UU Perlindungan Anak yang secara tegas menyatakan bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan. Termasuk kekerasan yang dilakukan oleh sesama murid. Artinya, sekalipun pelakunya adalah siswa, tanggung jawab tetap berada pada sekolah sebagai institusi pengawasan.

Kedua, UU Sisdiknas yang tidak hanya mengatur tentang kurikulum atau proses belajar-mengajar, tetapi juga menegaskan bahwa sekolah wajib menyediakan lingkungan yang aman, nyaman, dan mendukung perkembangan peserta didik.

Mekanisme perlindungan yang tidak efektif

Dalam hal ini, berarti masalah yang terbesar adalah bukan ada aturan tetapi pada pedoman dan mekanismenya.

Biasanya permasalahan dalam sekolah yang terjadi adalah SOP anti bullying yang tidak berjalan; korban yang tak tahu harus lapor kemana;orang tua tidak diberi informasi; investigasi tidak independen; dan masih banyak lagi.

Pada kondisi inilah, baru kita dapat menyimpulkan bahwa permasalahan sistematik seperti ini yang menyebabkan korban menjadi sengsara karena bukan hanya tertekan dengan kasus bullying melainkan juga tertindas dengan sistem pendidikan yang tidak tegas.

Setelah menguraikan permasalahan yang terjadi dalam sistem pendidikan, banyaknya kasus Bullying di sekolah terjadi bukan hanya karena pelaku, tetapi karena sistem perlindungan yang tidak berjalan. Walaupun regulasi kita sudah lengkap, yakni, ada UU Perlindungan Anak dan UU Sisdiknas.

Atas dasar itu, sudah jelas mewajibkan sekolah menjamin keamanan murid. Ketika sistematik tidak berjalan dengan efektif, maka ruang aman akan selalu gagal tercipta.

Karena itu, lembaga pendidikan kita memang perlu berbenah. Sekolah harus mampu memastikan mekanisme perlindungan benar-benar berfungsi.

Tak hanya itu, sekolah juga harus memberikan akses pelaporan yang aman, serta menempatkan keselamatan siswa di atas reputasi. Hanya dengan komitmmen dan aksi yang baik, maka sekolah dapat kembali pada tujuan utamanya yakni, menjadi tempat belajar yang aman bagi semua.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak