Polemik Bu Ana, Brave Pink, dan Simbol yang Mengalahkan Substansi

Hayuning Ratri Hapsari | Akramunnisa Amir
Polemik Bu Ana, Brave Pink, dan Simbol yang Mengalahkan Substansi
Bu Ana sebagai ikon dari Brave Pink (Ist.)

Baru-baru ini, jagat maya diwarnai dengan viralnya video tentang keberanian seorang ibu-ibu berkerudung pink yang ikut melakukan aksi demonstrasi di depan gedung DPR. Aksi heroik tersebut kemudian menjadi inspirasi dari lahirnya tren Brave Pink yang menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap rezim yang telah berlaku sewenang-wenang.

Setelah publik dibuat terinspirasi dengan aksi heroiknya, tiba-tiba framing negatif mengarah pada aksi Bu Ana yang dinilai terlalu arogan. Melansir dari berbagai sumber, netizen menilai bahwa Bu Ana sempat melontarkan kata-kata yang terkesan rasis dan kasar.

Ucapan yang kontroversial tersebut pun kemudian menimbulkan kekecewaan bagi netizen. Sorakan protes yang awalnya dianggap sebagai bentuk keberanian dinilai terlalu offside dan tidak sejalan dengan nilai perjuangan yang diusung untuk rakyat.

Sebelum kontroversi tersebut mencuat, Brave Pink yang dianggap sebagai simbol keberanian memang terinspirasi oleh kerudung pink Bu Ana. Hal ini kemudian menjadi suatu tren di media sosial sebagai bentuk sebuah perlawanan dan keberpihakan pada rakyat.

Tapi karena Brave Pink ini sangat melekat dengan pribadi dari Bu Ana, setelah pro dan kontra ucapannya yang juga viral, akhirnya banyak netizen yang kembali menarik dukungan mereka. Bahkan terjebak dalam debat kusir yang tidak ada habisnya antara membela Bu Ana atau justru mengecam aksinya yang diskriminatif.

Sebagai seorang rakyat, tentu hal seperti ini amat disayangkan. Maksud saya, mengapa di tengah kemelut masalah yang tidak habis-habis ini, kita masih ribut dengan perkara yang tidak substansial?

Kita begitu mudah terprovokasi dan hanyut dalam debat kusir yang tidak ada habisnya. Membahas pro-kontra dari A hingga Z tentang sikap Bu Ana. Saling balas argumen tentang perlukah kita tetap memakai simbol Brave Pink ketika seseorang yang menjadi ikonnya dinilai tidak pantas.

Sejatinya, hal-hal seperti ini sebenarnya justru hanya akan mengalihkan fokus kita dari sesuatu yang lebih penting. Seperti alasan awal tentang mengapa kita memulai perlawanan dengan memakai simbol tersebut.

Terus menerus menggiring opini tentang seberapa layak Bu Ana dijadikan panutan, atau perlukah tren warna pink di media sosial dipertahankan, sebenarnya hanya akan menimbulkan polarisasi di antara kita sebagai masyarakat.

Yang lebih bikin miris ketika polarisasi ini berujung pada pemberian label antara dua kubu. Yang pro dicap sebagai 'anak abah', dan yang kontra adalah mereka yang dianggap berpihak ke pemerintah.

Padahal narasi seperti inilah yang justru membuyarkan perhatian kita dalam mengawal isu yang lebih krusial. Yakni tuntutan rakyat 17+8, krisis demokrasi, hingga kebijakan pemerintah.

Ingatkah kita bahwa garis start dari semua ini adalah bagaimana kita berjuang untuk kepentingan rakyat di tengah sistem yang bobrok? Ini semua bukan hanya sekedar mempertanyakan simbol atau bertengkar gara-gara hal tersebut.

Coba deh kita kembali merenungkan, tujuan tren Brave Pink Hero Green yang viral di media sosial kita masing-masing itu sebenarnya buat apa, sih? Jangan sampai kita ikut-ikutan hanya karena FOMO. Orang beramai-ramai mengganti foto profil dengan shade warna Pink dan hijau, kita ikutan. Memakai tagar #bravepink dan #herogreen yang sedang viral, kita juga tidak mau ketinggalan.

Lalu setelah kita diberitahu fakta baru mengenai latar belakang dari semua hal di atas, kita jadi gamang dan kebingungan.

Ketika ada yang berusaha memancing dengan pro-kontra mengapa harus memakai simbol pink atau mengapa harus menjadikan orang tertentu sebagai ikon, kita jadi mudah untuk dibuat gaduh lalu akhirnya salah sasaran.

Ketahuilah wahai netizen, bahwa simbol itu hanyalah alat. Tidak peduli kamu mau pakai foto profil pink, hijau, merah, putih, atau warna apapun, yang terpenting adalah sikap yang ditunjukkan sebagai usaha konkret dalam membela kepentingan rakyat, sekecil apapun itu.

Dan berdebat tentang sesuatu yang tidak substansial hanya akan membuat kita kelelahan dan tidak produktif. Akibatnya, perhatian kita akan mudah teralihkan dari isu pokok yang seharusnya dibela.

Jadi, tetaplah semangat untuk mengawal apa yang seharusnya menjadi prioritas utama kita. Jangan mudah terprovokasi dan terjebak dengan hal-hal receh. Berbeda pendapat boleh saja. Tetapi ingat, tujuan kita semua adalah sama. Yakni menjaga api perjuangan itu tetap menyala. Teruslah bersuara, mengambil tindakan, tapi tetap fokus dengan alasan mengapa kita masih berjuang.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak

Mau notif berita penting & breaking news dari kami?