Public Speaking yang Gagal, Blunder yang Fatal: Menyoal Lidah Para Pejabat

Hikmawan Firdaus | Akramunnisa Amir
Public Speaking yang Gagal, Blunder yang Fatal: Menyoal Lidah Para Pejabat
Menteri Keuangan yang Baru, Purbaya Yudhi Sadewa (Suara.com)

Baca 10 detik
  • Blunder komunikasi Purbaya dan pejabat lain bikin rakyat makin trust issue pada pemerintah.
  • Pejabat perlu empati, public speaking, dan narasi tepat agar kebijakan diterima rakyat.
  • Reshuffle kabinet mengganti Sri Mulyani dengan Purbaya Yudhi Sadewa menuai pro-kontra.

Akhir-akhir ini, kita dihebohkan lagi dengan pemberitaan seputar reshuffle kabinet. Salah satu kementerian hasil reshuffle yang cukup menarik perhatian publik adalah digantinya Sri Mulyani oleh Purbaya Yudhi Sadewa sebagai menteri keuangan.

Ada yang mendukung, namun nggak sedikit juga yang menyayangkan lengsernya Sri Mulyani yang telah menjabat selama 2 periode tersebut.

Terlepas dari pro kontra yang ada, sebagai rakyat, kita tentu berharap bahwa langkah yang dilakukan oleh Presiden adalah upaya untuk melakukan perbaikan. Bukan sekedar langkah tergesa dalam meredam kemarahan rakyat. Dan itu tergantung dari seberapa kapabel penggantinya dalam menjalankan amanah ke depan.

Dalam hal ini, kapasitas Purbaya Yudhi Sadewa sebagai menteri keuangan yang baru menjadi harapan sekaligus menimbulkan tanda tanya besar di benak rakyat. Pasalnya, baru terhitung sehari setelah dilantik, Senin (8/9/2025) Purbaya sempat mengeluarkan pernyataan kontroversial bahwa tuntutan masyarakat '17+8' hanyalah suara 'sebagian kecil' rakyat.

Melansir dari laman Suara.com, ucapan Menkeu Purbaya terkesan meremehkan saat dimintai tanggapan soal tuntutan 17+8 yang viral di media sosial. Baru saja sehari dilantik, tapi satu ucapan yang nggak disaring baik-baik kembali membuat masyarakat gaduh.

Terlepas dari kontroversi tersebut, Menkeu Purbaya memang sudah melakukan klarifikasi dan meminta maaf atas sikapnya. Tapi sebagai orang awam, saya pribadi melihat hal ini seperti sebuah drama politik yang nggak habis-habis. Pertanyaannya, kenapa sih para pejabat ini nggak belajar dari peristiwa serupa sebelum itu?

Blunder terkait komunikasi politik seperti ini bukan hal yang terjadi pertama kali, loh. Baru-baru ini, menteri agama Nasaruddin Umar juga sempat menyinggung rakyat dengan pernyataan 'kalau mau cari uang, jangan jadi guru, jadi pedaganglah'.

Pernyataan tersebut sontak menjadi sorotan karena dianggap merendahkan profesi guru. Dan jangan lupa, puncak kemarahan rakyat atas DPR juga sedikit banyak berasal dari ucapan-ucapan blunder para pemangku kebijakan tersebut yang seolah meremehkan rakyat. Mulai dari ucapan viral Ahmad Sahroni yang pernah menyebut rakyat yang menuntut pembubaran DPR sebagai mental orang tolol, hingga ucapan Deddy Sitorus yang blunder akibat diksi 'sesat logika' dan 'rakyat jelata' yang ditujukan kepada rakyat juga.

Apakah peristiwa-peristiwa tersebut nggak cukup menjadi pelajaran buat para elite politik? Akibat nggak menjaga ucapan, netizen di medsos menjadikan mereka sebagai bahan rujakan.

Meski ujung dari drama ini bisa ditebak. Mereka akan minta maaf dan klarifikasi. Tapi sayangnya peristiwa ini selalu menjadi PR yang terus diulang. Seolah mereka lupa bahwa nila setitik bisa merusak susu sebelanga. Ucapan satu pejabat yang menuai kritik bisa meruntuhkan harga diri satu negara.

Di tengah gelombang aksi dan demo yang terjadi baru-baru ini, rakyat seolah mengalami krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Saat situasi politik nggak stabil, setidaknya para pejabat yang baru dilantik ini memperbaiki sikap.

Berikanlah citra yang baik demi mengembalikan marwah. Pencitraan itu juga nggak salah demi mengembalikan kepercayaan biar rakyat tenang. Kalau kesan pertamanya sudah blunder, bagaimana rakyat bisa yakin bahwa mereka memang kapabel untuk membawa perubahan?

Karena pada dasarnya, publik sudah lelah dengan berbagai drama politik yang ada. Jadi, amat wajar jika menaruh ekspektasi yang besar terhadap langkah perubahan sekecil apapun. Khususnya menanggapi peristiwa reshuffle kabinet ini.

Selain menaruh harapan bahwa para pejabat yang dilantik memang punya kapasitas di bidangnya masing-masing, sebagai rakyat, saya juga berharap bahwa pada elite ini juga belajar tentang komunikasi politik, kemampuan public speaking, dan yang terpenting adalah empati.

Percuma kalau punya gelar akademis segudang dan prestasi yang membanggakan kalau nggak bisa menjaga kredibilitas di hadapan publik. Rakyat Indonesia sekarang ini lagi trust issue dengan pemerintah. Selain kita butuh membangun kepercayaan dengan bukti kerja nyata, rakyat juga butuh penjelasan yang mudah dipahami.

Dalam hal ini, kemampuan public speaking yang baik itu amat berpengaruh untuk mendukung hal tersebut. Dengan kemampuan menyampaikan narasi yang baik, para pejabat bisa memperlihatkan bahwa mereka benar-benar ada untuk merangkul dan mewakili rakyat, bukan malah jadi penguasa yang arogan.

Karena sebagus apapun kebijakan yang mereka susun, kalau dikomunikasikan dengan cara yang keliru, poinnya juga nggak bakal sampai ke rakyat. Yang ada hanyalah miskomunikasi yang terus digoreng oleh media. 

Di era digital ketika informasi bisa tersebar dalam hitungan detik, satu kalimat yang ambigu begitu cepat menimbulkan reaksi berlebihan terhadap publik. Ucapan yang menyakiti rakyat bisa berujung viral menjadi gulungan bola salju yang semakin membesar dan berdampak di mana-mana.

Jadi, tolonglah buat para pejabat yang terhormat agar memperbaiki tutur kata, lebih peka dengan kondisi rakyat, dan miliki empati yang besar dalam berkomunikasi. Sebagai orang-orang yang telah diberi kepercayaan untuk mengurus kepentingan publik, kalian juga dituntut nggak cuma bisa mengatur anggaran dan merumuskan kebijakan, tetapi juga belajar bicara dengan bahasa yang bisa dipahami tanpa kesan merendahkan. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak