Rantai Pasok Makanan Sekolah: Celah Besar Program MBG

Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Rantai Pasok Makanan Sekolah: Celah Besar Program MBG
Potret salah satu dapur MBG (bgn.go.id)

Keracunan massal akibat Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kini menjadi berita yang hampir rutin menghiasi linimasa. Publik sibuk membicarakan soal dapur yang tak sesuai SOP, sertifikat laik higiene yang minim, hingga petugas yang lalai.

Tetapi ada satu sisi krusial yang jarang disorot, yaitu tentang bagaimana sebenarnya perjalanan makanan itu sendiri, dari gudang penyimpanan hingga sampai ke piring anak-anak sekolah. Dalam dunia keamanan pangan, inilah yang disebut sebagai rantai pasok, dan kerentanannya jauh lebih menakutkan.

Profesor Tjandra Yoga Aditama, pakar kesehatan masyarakat, pernah mengingatkan bahwa keamanan pangan bukan sebatas pada tahap akhir memasak, melainkan juga kontrol sejak bahan mentah.

“Keselamatan pangan adalah rantai yang tidak boleh putus, mulai dari petani atau produsen, proses distribusi, penyimpanan, hingga pemasakan,” ujarnya dalam sebuah diskusi publik. Rantai itu harus dijaga di setiap mata, karena satu celah saja bisa menjadi titik masuk bakteri, virus, atau zat berbahaya.

Sayangnya, realitas MBG menunjukkan bahwa rantai ini penuh retakan. Mari bayangkan prosesnya, bahan sayur dibeli dari pasar induk yang belum tentu menerapkan standar pestisida ketat. Daging dan ikan dipasok dari berbagai daerah, sering kali tanpa pendingin memadai.

Dalam perjalanan menuju dapur sekolah, bahan-bahan itu menempuh ratusan kilometer di dalam truk yang mungkin tidak dilengkapi cold chain atau sistem pendingin berstandar. Sementara di gudang penyimpanan lokal, listrik bisa padam kapan saja, membuat suhu tak stabil. Semua ini terjadi jauh sebelum makanan diolah.

Dokter gizi Tan Shot Yen menambahkan lapisan lain dari masalah ini. Dalam sebuah wawancara, ia menyoroti bahaya penggunaan makanan ultraproses, yaitu bahan pangan yang melalui proses industri panjang dan mengandung banyak aditif, pengawet, dan perisa buatan.

“Sering kali, untuk menekan biaya dan mempercepat distribusi, penyedia makanan memilih bahan yang tahan lama tetapi miskin gizi. Akibatnya, anak-anak kenyang tapi tubuh mereka justru menerima beban zat kimia yang dalam jangka panjang merusak kesehatan,” kata Tan.

Dalam konteks MBG, tekanan untuk memenuhi target per hari bisa saja mendorong penyedia memilih bahan yang praktis daripada segar.

Pemerintah berargumen akan menyelesaikan persoalan ini dengan menambah sertifikat higiene dapur, tapi tentu tak sesederhana itu. Karena sertifikat hanyalah stempel di ujung rantai, sedangkan masalah bermula dari hulu.

Data Badan Pangan Nasional menyebutkan, 60% rantai pasok pangan di Indonesia masih bergantung pada jalur distribusi tradisional yang minim pendingin dan kontrol kualitas. Artinya, risiko kontaminasi sudah ada bahkan sebelum bahan makanan memasuki dapur.

Ironisnya, program sebesar MBG justru memperlihatkan kelemahan sistem pangan nasional yang selama ini tertutup. Ketika target penyediaan makanan melonjak tiba-tiba, infrastruktur distribusi yang rapuh langsung kewalahan.

Gudang penyimpanan tak siap, transportasi tidak memadai, dan pengawasan bahan mentah tidak bisa mengejar kecepatan permintaan. Semua ini adalah konsekuensi dari pembangunan pangan yang selama puluhan tahun lebih fokus pada kuantitas ketimbang kualitas.

Pemerintah kerap menepis kritik dengan menekankan bahwa kasus keracunan hanya sebagian kecil dari total porsi yang disalurkan. Namun, argumen ini terasa seperti menenangkan diri dengan statistik.

Dalam rantai pangan, satu kesalahan kecil dapat berdampak luas. Bakteri salmonella atau E.coli, misalnya, tidak mengenal proporsi, satu kilogram daging terkontaminasi bisa mencemari ribuan porsi makanan. Menganggap angka keracunan kecil sama saja mengabaikan prinsip pencegahan yang seharusnya menjadi fondasi program sebesar ini.

Masalah rantai pasok juga menyentuh aspek logistik yang sering diabaikan. Truk pendingin membutuhkan bahan bakar dan biaya perawatan tinggi, yang sering kali tidak terjangkau penyedia kecil di daerah.

Jalur distribusi di banyak kabupaten masih bergantung pada infrastruktur jalan yang buruk, membuat perjalanan bahan makanan lebih lama dari standar aman. Sementara itu, mekanisme inspeksi acak yang dilakukan pemerintah daerah masih tak beraturan dan lebih sering bersifat administratif ketimbang teknis.

Melihat semua ini, wajar bila publik mulai ragu apakah pemerintah benar-benar siap mengamankan piring makan anak-anak. Tanpa perbaikan serius pada rantai pasok, dari sistem produksi, transportasi, penyimpanan, hingga distribusi, maka keracunan akan menjadi konsekuensi yang hampir pasti berulang.

MBG seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki rantai distribusi pangan nasional, bukan sekadar proyek bagi-bagi makanan. Jika pemerintah hanya fokus pada angka penerima dan kecepatan distribusi tanpa memperkuat sistem pendukungnya, setiap piring nasi gratis bisa saja menjadi undangan bagi penyakit.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak