Budaya Titip Absen: PR Besar Guru Bagi Pendidikan Bangsa

Hayuning Ratri Hapsari | Hafsah H.
Budaya Titip Absen: PR Besar Guru Bagi Pendidikan Bangsa
Ilustrasi murid (Pexels/Pixabay)

Titip absen. Kita mungkin sudah akrab dengan dua kata ini. Entah saat sekolah, kuliah, seminar, atau kegiatan lainnya. Alasannya beragam. Sebagian besar mungkin karena malas, ada juga yang mengantuk atau capek, tapi ada juga yang punya kegiatan lain di jam yang sama. 

Fenomena ini tentu menggelitik kita. Dimana kejujuran masih menjadi kemewahan di dunia pendidikan. Masih banyak orang yang merasa kalau belajar hanya sekedar mengejar presensi. Bukan karena kebutuhan akan ilmu.

Bahkan, yang awalnya menentang keras titip absen, suatu saat juga terjebak atau terpaksa titip absen. 

Bisa karena kondisi yang tidak memungkinkan atau bisa juga karena terseret arus pergulan. Hingga di waktu hening, tanpa sadar kita sudah banyak melakukan titi absen. Padahal sebelumnya sangat anti atau bahkan mengolok-ngolok mereka yang melakukannya. 

Sama seperti kelas wajib di sekolah atau di bangku kuliah, kita wajib tidak wajib untuk selalu hadir. Dalam artian, kita diberi kesempatan untuk absen maksimal dalam jumlah tertentu karena berbagai alasan. 

Bisa karena sakit, kondisi yang tidak memungkinkan, atau psikis yang terguncang. Alasan terakhir mungkin terdengar aneh bagi sebagian orang. Namun sama seperti sakit fisik, mental kita pun juga bisa sakit.

Oleh karenanya normal dan lumrah untuk mengambil jeda sesaat untuk menyembuhkan diri. Misalnya saat kehilangan atau pukulan besar dalam hidup terjadi. 

Karena mau masuk kelas pun pasti pikiran nggak bakal konsen kan? 

Selain itu, seiring waktu, kita tahu kalau nggak cuma anak kecil dan anak muda yang duduk di kelas. Namun ada juga mahasiswa S2 atau S3 yang mungkin sudah memiliki kehidupan yang kompleks. 

Di usia ini tentu "hadir" 100% menjadi semakin sulit. Karenanya, tidak semua mahasiswa itu mereka yang berusia gen Z. 

Namun di sisi berseberangan, titip absen masih menjadi PR besar bagi guru dan dosen. Karena seharusnya murid dan mahasiswa punya kesadaran penuh untuk belajar. Seharusnya mereka menganggap ilmu sebagai kebutuhan, bukan sekadar kewajiban atau formalitas belaka. 

Di era digital dan pergaulan yang semakin sulit dikontrol, pendekatan bagi masing-masing individu untuk lebih menghargai waktu dan ilmu memang dibutuhkan. Sehingga bisa menekan angka titip absen yang sudah menjadi budaya sejak lama. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak