Media sosial sekarang sudah jadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, hampir semua orang sempat buka Instagram, TikTok, atau X (Twitter). Platform-platform ini memang memudahkan kita untuk berkomunikasi, berbagi kabar, dan bahkan mencari rezeki. Tapi di balik kemudahannya, dunia maya juga menyimpan tantangan besar, terutama soal etika komunikasi.
Menurut penelitian Syifa Hamama (2024), kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah cara manusia berinteraksi. Indonesia sendiri termasuk salah satu negara dengan pengguna media sosial tertinggi di dunia, rata-rata orang Indonesia menghabiskan sekitar 197 menit per hari di media sosial. Namun, semakin sering kita online, semakin tinggi pula risiko terjadinya pelanggaran etika digital.
Tantangan Etika Komunikasi di Dunia Maya
Salah satu masalah paling besar di media sosial adalah penyebaran hoaks. Informasi palsu bisa menyebar hanya dalam hitungan detik. Banyak pengguna langsung membagikan berita tanpa memeriksa kebenarannya. Padahal, menurut Hamama, hoaks bisa menyesatkan publik, menciptakan perpecahan, dan bahkan mengancam ketertiban sosial.
Selain hoaks, ada juga anonimitas yang bikin sebagian orang merasa bebas berkata kasar. Fenomena ini memunculkan cyberbullying, yaitu perundungan di dunia maya. Data dari Digital Civility Index menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara dengan tingkat kesopanan digital terendah di Asia Tenggara. Bentuknya bisa berupa komentar jahat, akun palsu, atau grup yang dibuat khusus untuk mempermalukan seseorang. Padahal, efeknya bisa serius: korban bisa stres, kehilangan rasa percaya diri, bahkan trauma.
Tantangan lain adalah kurangnya empati. Karena tidak bertatap muka, orang sering lupa bahwa di balik layar ada manusia lain yang bisa tersinggung. Komentar yang dianggap “candaan” bisa jadi sangat menyakitkan bagi orang lain. Selain itu, penyalahgunaan data pribadi juga makin marak. Banyak pengguna yang tidak sadar kalau data mereka dikumpulkan dan digunakan tanpa izin, bahkan bisa dijual untuk kepentingan tertentu.
Solusi: Ciptakan Dunia Maya yang Lebih Sehat
Syifa Hamama (2024) menawarkan beberapa solusi agar ruang digital tetap sehat dan etis. Pertama, pendidikan literasi digital perlu diperkuat. Masyarakat harus diajarkan cara mengenali sumber informasi yang kredibel dan tidak mudah termakan isu palsu. Sekolah bisa mulai mengenalkan pelajaran etika digital agar anak-anak tumbuh menjadi pengguna internet yang cerdas dan beradab.
Kedua, pemerintah dan platform media sosial perlu menegakkan aturan dengan tegas terhadap ujaran kebencian dan perilaku tidak etis. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) harus dijalankan secara adil, bukan untuk menakuti masyarakat, tapi untuk mendidik agar lebih bertanggung jawab di dunia maya. Penegakan hukum yang konsisten akan membantu menciptakan budaya komunikasi yang lebih sehat.
Ketiga, penting untuk menumbuhkan empati dan tanggung jawab digital. Sebelum menulis komentar atau membagikan konten, pikirkan dulu: apakah ini akan melukai orang lain? Apakah saya nyaman jika diperlakukan seperti itu? Sederhana, tapi bisa mengubah cara kita berinteraksi secara signifikan. Dunia digital akan jauh lebih damai kalau semua orang bisa sedikit lebih peduli dengan perasaan orang lain.
Keempat, pengguna media sosial juga perlu sadar akan perlindungan data pribadi. Jangan asal klik “setuju” tanpa membaca kebijakan privasi. Platform digital juga seharusnya transparan dalam mengelola data pengguna dan memberikan kontrol lebih bagi pengguna untuk melindungi identitas mereka.
Oleh karena itu, etika komunikasi di media sosial bukan sekadar soal sopan santun, tapi soal tanggung jawab moral. Dunia maya hanyalah perpanjangan dari dunia nyata, jika di kehidupan sehari-hari kita menjaga tata krama, seharusnya di dunia digital pun sama.
Media sosial bisa jadi tempat yang menyenangkan, edukatif, dan inspiratif jika digunakan dengan bijak. Tapi kalau disalahgunakan, ia bisa berubah jadi medan perundungan dan penyebaran kebencian. Jadi, sebelum menekan tombol “posting” atau “share”, ingat pepatah digital masa kini: “Jempolmu adalah cermin akhlakmu.” Gunakan dengan bijak, karena sekali klik bisa membawa pengaruh besar, baik atau buruk, tergantung pada kamu.