Selama ini, kita sering banget kena mindset yang menyesatkan bahwa predikat itu cuma kata kerja (verba). Common mistake ini udah mengakar dari bangku sekolah, bahkan mungkin jadi semacam kesesatan berpikir massal yang diturunkan antar-angkatan.
Anggapan sempit ini bikin analisis kalimat kita jadi tumpul, padahal bahasa Indonesia punya struktur yang kece dan logis. Guys, predikat itu jauh lebih kaya dan fleksibel dari sekadar verb, lho!
Ini bukan cuma omong kosong tanpa dasar. Buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBBI) Edisi Keempat yang disusun oleh Hasan Alwi, dkk., dengan gamblang menjelaskan bahwa Predikat bisa diisi oleh frasa nominal (kata benda), frasa adjektival (kata sifat), frasa numeral (kata bilangan), bahkan frasa preposisional (kata depan) selain frasa verbal (kata kerja).
Yuk, kita bongkar pelan-pelan biar pola pikir kebahasaan kita naik kelas!
Predikat Is More Than Just Aksi: Menghancurkan Dogma Lama
Kekeliruan ini muncul karena Predikat selalu diidentikkan dengan aksi (melakukan, makan, tidur). Padahal, fungsi fundamental Predikat adalah menerangkan Subjek. Menerangkan itu luas, bisa berupa aksi, sifat, keadaan, identitas, jumlah, atau lokasi. Ketika kita hanya fokus pada 'melakukan', kita membatasi kemampuan bahasa kita sendiri.
Jika Subjek sedang tidak melakukan apa-apa, apakah kalimat itu tidak punya predikat? Tentu punya! Kalimat seperti "Adiknya seorang dokter" tidak punya aksi, tapi punya Predikat, yaitu "seorang dokter" (frasa nominal) yang berfungsi menerangkan identitas Subjek. Logika ini yang sering skip dari radar kita.
Ada lagi contoh kasus yang paling sering salah kaprah dan bikin mind blown. Coba perhatikan dua kalimat ini baik-baik. Kalimat (1) "Saya di perpustakaan." versus (2) "Saya membaca di perpustakaan."
Di kalimat (2), jelas "membaca" adalah Predikat (Verba), dan "di perpustakaan" adalah Keterangan Tempat karena bisa dipindah atau dihilangkan tanpa merusak inti. Tapi di kalimat (1), jika kita menghilangkan "di perpustakaan", kalimatnya jadi "Saya." Ngambang banget, bukan? Maka, di kalimat (1), "di perpustakaan" (frasa preposisional) itu yang mengisi kekosongan wajib fungsi Predikat, berfungsi menerangkan lokasi keberadaan Subjek. Boom! Predikat ternyata bisa berupa lokasi!
Kenapa "Di Perpustakaan" Berubah Jobdesc?
Kunci membedakannya terletak pada posisi wajib dan keterikatan makna dalam kalimat dasar. Predikat adalah unsur inti yang wajib hadir bersama Subjek untuk membentuk klausa/kalimat minimal yang lengkap. Keterangan itu unsur manasuka yang bisa dipindah-pindah atau dihilangkan.
Dalam kalimat "Saya di perpustakaan," frasa preposisional itu bukan Keterangan, melainkan Predikat. Kenapa? Karena tanpa frasa itu, statement tentang "Saya" tidak tersampaikan. Bandingkan dengan Predikat yang berupa Kata Sifat: "Mobil itu bagus." Predikatnya "bagus". Ini sama-sama menerangkan keadaan atau sifat, bukan aksi.
Jangan Lupa Identitas dan Jumlah Ikut Meramaikan!
Selain Kata Sifat (Adjektival) dan Frasa Lokasi (Preposisional), Predikat juga sah diisi oleh Kata Benda (Nominal) dan Kata Bilangan (Numeral). Predikat nominal umumnya dipakai untuk mengidentifikasi Subjek. Contoh: "Kakaknya pilot pesawat tempur." Predikatnya adalah "pilot pesawat tempur." Sementara Predikat Numeral dipakai untuk menyatakan jumlah. Contoh: "Anaknya dua." Predikatnya adalah "dua".
Semua unsur ini—nominal, adjektival, preposisional, dan numeral—berfungsi sama: menerangkan Subjek, mengisi tahta Predikat, dan menjawab pertanyaan apa, siapa, di mana, atau bagaimana Subjek itu.
Kesalahan berpikir dengan stuck pada dogma Predikat = Kata Kerja sering membuat kita keliru menganalisis kalimat simple di percakapan sehari-hari. Kita selalu hunting kata kerja di setiap kalimat. Padahal, seringkali kalimat yang kita dengar atau baca itu hanyalah kalimat deskriptif atau identifikasi.
Kalau analisis kalimat dasar saja miss, ini bisa berdampak pada ketidakmampuan kita menyusun argumen atau tulisan yang powerful dan lurus secara logika kebahasaan. Ini adalah masalah serius yang patut kita kritisi.
Ini Soal Logika, Bukan Sekadar Hafalan
Memahami kekayaan pengisi fungsi Predikat ini adalah bukti bahwa bahasa Indonesia itu punya logika yang matang, bukan sekadar daftar hafalan. Tata bahasa baku ada untuk memastikan kita punya landasan berpikir yang terstruktur.
Ketika kita tahu bahwa Predikat bisa berupa identitas (nomina) atau lokasi (preposisional), kita bisa membangun kalimat yang lebih efektif dan ringkas. Misalnya, alih-alih mengatakan "Saya sedang berada di kamar," kita bisa ringkas menjadi "Saya di kamar." Jauh lebih clean dan tetap baku secara struktur!
So, Gengs, Upgrade Ilmu, Upgrade Skill Berpikir! Intinya, next time jika kalian menganalisis kalimat, jangan langsung judge dengan "mana kata kerjanya?". Pikirkan, elemen mana yang menerangkan Subjek dan berfungsi sebagai inti statement yang wajib ada? Itu dia Predikatnya.
Mari kita tinggalkan dogma lama dan mulai berpikir lebih tajam dan berbobot dalam memahami struktur bahasa kita. Karena bahasa yang benar dan kaya adalah cerminan dari pola pikir yang terstruktur dan kritis. Yuk, gas!
 
                 
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                 
                 
                 
                 
                 
                 
                 
                 
                 
                