Lebih dari dua dekade berlalu sejak peluru merenggut nyawa Wawan di Tragedi Semanggi. Namun bagi Sumarsih, waktu tak pernah jadi alasan untuk berhenti menuntut keadilan bagi putra sulungnya itu.
Wawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta, tewas dalam demonstrasi menolak Sidang Istimewa MPR dan dwifungsi ABRI pada November 1998. Saat itu, ia mencoba menolong korban lain yang terjatuh di area kampus, sebelum akhirnya ditembak oleh aparat yang berada di lokasi.
“Pada saat itu ada tentara masuk ke kampus Atma Jaya, kemudian ada korban jatuh. Wawan ngasih tahu ke tentara, ‘Pak, itu ada korban jatuh, boleh ditolong atau tidak?’ Tentara itu mengatakan, boleh silakan. Pada saat Wawan akan mengangkat korban, Wawan ditembak,” kenang Sumarsih, melalui salah satu video di akun TikTok @dw_nesia pada Senin (10/11/2025).
Sejak kehilangan anaknya, Sumarsih tak berhenti memperjuangkan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM berat. Setiap Kamis sejak 18 Januari 2007, ia hampir tak pernah absen berdiri di depan Istana Kepresidenan bersama para keluarga korban lain dalam Aksi Kamisan.
Selama hampir dua dekade, negara berganti wajah, tapi luka yang mereka bawa tetap sama. Tidak ada pemimpin yang benar-benar berani menyentuh akar persoalan, apalagi mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat.
Sementara itu, nama-nama yang dulu disebut dalam laporan penyelidikan kini justru duduk di kursi kekuasaan. Seakan bungkam terhadap keadilan yang selama ini dinantikan.
Ironinya, bahkan di peringatan Hari Pahlawan yang baru lewat, gelar kehormatan kembali diberikan pada sosok yang dalam catatan sejarah justru meninggalkan jejak luka bagi banyak keluarga korban. Di saat negara sibuk menabalkan gelar “pahlawan”, para ibu seperti Sumarsih masih berdiri di depan Istana, menagih keadilan yang tak kunjung datang.
Barangkali inilah potret paling nyata dari bagaimana bangsa ini memperlakukan sejarah, menyanjung yang berkuasa, melupakan yang berduka. Negara tampak lebih sibuk mengabadikan nama di batu peringatan ketimbang menghapus noda darah di sejarahnya sendiri.
Sementara itu, Sumarsih dan para ibu korban lainnya terus berdiri, bukan untuk dikenang, tapi agar kebenaran tidak dikubur oleh waktu. Mereka tahu, keadilan mungkin tak akan datang di masa hidup mereka, namun diam berarti membiarkan kebohongan menang.
Di negeri yang mudah memberi gelar pahlawan, Sumarsih justru menunjukkan makna kepahlawanan yang sesungguhnya. Karena bagi seorang ibu yang kehilangan, keadilan bukan sekadar tuntutan, melainkan cara untuk menjaga kemanusiaan tetap hidup.