Setiap 18 November, dunia kembali diingatkan bahwa kekerasan seksual terhadap anak bukan sekadar berita singkat yang dapat diabaikan.
Hal ini adalah kenyataan yang terus berulang, terjadi di ruang-ruang yang seharusnya aman seperti rumah, sekolah, ruang digital, bahkan lingkaran orang dewasa yang dipercaya anak itu sendiri.
Peringatan End Child Sexual Abuse Day hadir untuk menggugah kesadaran, tetapi tahun ini terasa berbeda. Ada urgensi yang lebih keras, seolah dunia menuntut kita berhenti bersikap seolah masalah ini jauh dari kehidupan kita.
Di tengah kampanye global yang dipimpin Council of Europe, ada pesan sederhana dan tajam, yakni kekerasan seksual pada anak hanya akan berhenti jika masyarakat berhenti diam.
Berdasarkan data Simfoni Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), sejak Januari 2025 hingga 29 April 2025, terdapat 7.602 kasus kekerasan di Indonesia, terdiri dari 1.563 korban anak laki-laki dan 6.526 korban anak perempuan.
Data itu sendiri sudah cukup berbicara bahwa Indonesia belum menjadi tempat yang aman bagi anak. Dan membiarkan hal ini berjalan seperti biasa sama saja dengan ikut menormalisasi kekerasan.
Peringatan 18 November menjadi momentum untuk menyadari bahwa diam adalah bentuk tindakan yang paling berbahaya.
Pelecehan tidak hanya terjadi secara fisik, tetapi juga melalui internet melalui gambar, video, dan percakapan privat yang semakin sulit dipantau tanpa kebijakan digital yang kuat.
Dunia berubah, dan bentuk kekerasan ikut berubah. Bila kita tidak mengejar ketertinggalan itu, anak-anaklah yang kembali menanggung risikonya.
Namun, peringatan ini bukan hanya soal kebijakan. Ada sisi kemanusiaan yang tidak boleh hilang dari pembahasan.
Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual sering memendam trauma yang kemudian membentuk cara mereka melihat dunia, berinteraksi dengan orang lain, dan bahkan menilai diri sendiri.
Banyak dari mereka tumbuh dengan beban rasa bersalah yang seharusnya tidak pernah mereka tanggung. Di titik inilah masyarakat perlu hadir, tidak hanya sebagai penonton, tapi sebagai sistem pendukung yang nyata.
Empati bukan sekadar slogan tetapi harus diwujudkan dengan keinginan untuk mendengar, menormalisasi laporan, dan menciptakan lingkungan yang aman bagi anak untuk berbicara.
Tidak ada masyarakat yang benar-benar maju selama anak-anaknya masih menjadi korban yang tidak terlihat. 18 November bukan sekadar peringatan, ini adalah deklarasi moral.
Cukup berarti tidak ada lagi kompromi, tidak ada lagi alasan, dan tidak ada lagi ruang bagi siapapun yang mencoba meremehkan kekerasan seksual terhadap anak.
Hari ini adalah ajakan kesekian kalinya untuk bertanggung jawab dan tanggung jawab itu mulai dari kesadaran paling sederhana, yakni berhenti menoleransi kekerasan dalam bentuk apa pun.