Joko Pinurbo atau yang akrab disapa Jokpin merupakan seorang penyair yang sering menuliskan puisi-puisinya dengan gaya percakapan kecil yang sederhana tentunya. Namun dibalik kesederhanaan itu ia tetap menyisipkan atau menyimpan kedalaman makna yang tak kita duga. Puisinya memang bisa dibilang jarang sekali untuk mengumbar retorika besar atau berbagai jargon yang muluk-muluk.
Ia lebih memilih menggunakan bahasa sehari-hari, kata-kata yang ringan dicerna, bahkan bisa memberikan kesan yang begitu polos, akan tetapi dari kepolosan itulah lahir sebuah refleksi yang menyentuh.
Dalam salah satu karya puisinya yang ia beri judul “Kepada Uang” Jokpin memperlihatkan kembali kekuatan dari ciri khasnya: merangkum segala kekompleksitasan kehidupan manusia melalu hal-hal kecil yang kerap kali luput perhatian padahal itu begitu dekat dan akrab untuk kita.
Dari puisi ini membuka kita dengan doa-doa kecilnya kepada sesuatu yang begitu intim dan dalam atas kehidupan manusia yakni “uang.” Akan tetapi, alih-alih menghadirkan uang hanya sebagai sebuah simbol atas keserakahan, ambisi, atau bahkan kekuasaan.
Jokpin justrus mengajak kita untuk berbincang akan rumah murah dan juga sebuah ranjang lugu. Ia tidak meminta sebuah istana yang mewah, tidak juga memohon atas segala bentuk kendaraan yang mewah pula, dan tentunya ia tidak pula menginginkan sebuah kekayaan yang berlimpah.
Ia justru hanya meminta sebuah rumah yang sederhana untuk berteduh menghabisi masa-masa senja, dan juga sebuah ranjang lugu yang cukup untuk menghangatkan dan merawat segala encok tubuhnya. Permintaan yang tampak remeh inilah yang justru menyimpan berbagai ironi besar, bahkan kebutuhan paling dasar sekalipun, rumah dan ranjang, sering kali begitu sulit untuk dicapai.
Rumah dan Ranjang: Simbol Kehidupan yang Menyusut

Mari kita lihat bait pertama dalam puisi ini: “Uang, berilah aku rumah yang murah saja, yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku, yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku.” Rumah di sini bukan lagi hanya sebuah simbol dari bangunan fisik saja, melainkan mengubah menjadi sebuah simbol akan kebutuhan dasar manusia. Dalam fase kehidupan manusia yang perlahan namun pasti menuju masa-masa senja, rumah bukan lagi tempat pamer akan status sosial, melainkan hanya cukup sebagai ruang yang teduh. Kata senja menjadi sebuah penanda akan waktu, dimana ini merupakan masa ketika segala ambisi telah mereda, dan yang diinginkan hanyalah tentang kedamaian.
Jendela yang digambarkan hijau menganga seperti jendela mataku mengahdirkan sebuah citra yang natural dan juga intim. Hijau menandakan sebuah kesegaran, harapan, dan juga pandangan yang terbuka. Jokpin seolah-olah ingin menyampaikan sebuah rumah yang dapat menyatu dengan dirinya, tidak terpisahkan dari kehidupannya sendiri. Rumah bukan lagi menjadi sebuah aset, melainkan perpanjangan dari tubuh itu sendiri, sebuah ruang yang hidup bersama penghuni.
Bait berikutnya membawa kita untuk melompat keranjang: “Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja, yang cukup hangat buat merawat encok-encokku, yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku.” Ranjang di sini menjadi sebuah metafora akan tubuh. Tubuh yang telah rapuh, tua, penuh encok, yang membutuhkan sebuah ranjang sederhana untuk menopangnya.
Menariknya ialah kaki ranjang itu dibandingkan dengan kaki masa kecilku: yang lentur liar, penuh daya hidup. Sebuah ironi yang perlahan muncul, ranjang yang menopang tubuh rentan justru mengingatkan kita pada masa-masa kecil yang begitu lincah. Di sinilah waktu menyatukan awal dan akhir, lingkaran hidup manusia yang bergerak dari lentur menuju kekakuan, dari liar ke encok.
Rumah dan ranjang dua hal yang sederhana perlaham menjadi sebuah simbol besar akan kehidupan. Rumah untuk melindungi kita dari dunia luar, ranjang sebagai tempat untuk merawat tubuh kita di dunia dalam. Keduanya merupakan sebuah kebutuhan dasar, namun justru dari dalam puisi ini terasa betapa sulitnya menjangkau kedua hal itu.
Menabung Lapar, Manabung Mimpi, Menguras Cadangan Sakit
Bagian paling menohok dari puisi ini ialah pada baris: “Sabar ya, aku harus menabung dulu. Menabung laparmu, menabung mimpimu. Mungkin juga harus menguras cadangan sakitmu.”
Pada bait ini, Jokpin melakukan permainan maknanya yang sangat khas. Kata menabung biasanya memiliki konotasi yang positif: menyiapkan masa depan, menyimpan hasil kerja, membangun kemandirian. Akan tetapi dalam puisi ini, kata menabung menjadi kata yang memiliki makna ironi getir. Menabung rasa lapar yang berarti bertahan dari segala kekurangan, menabung mimpi-mimpi bermakna menunda segala harapan, dan menguras cadangan sakit seakan ingin menyampaikan bahwa segala sesuatau harus dibayar dengan tubuh sendiri.
Bait ini pula yang menggambarkan dengan begitu tepat akan situasi yang seringkali dialami oleh banyak orang di dunia nyata: demi mengejar kebutuhan-kebutuhan yang sederhana, seseorang harus bisa mengorbankan segala kesehatan, mimpi, bahkan hinga ke perut mereka sendiri. Tabungan bukan lagi Cuma sebatas uang semata, melainkan perlahan berubah menjadi penahanan akan segala penderitaan. Jokpin dengan begitu halusnya menyingkap segala realitas ekonomi sehari-hari seperti ada sebuah harga yang tak kasatmata di balik setiap rupiah yang kita simpan setiap hari atau bulannya. Ironi inilah yang mengingatkan kita bahwa uang tidak pernah bersifat netral. Ia datang bersama jejak-jejak lapar, mimpi-mimpi yang dipaksa terkubur, dan segala rasa sakit yang terpaksa dipendam. Uang merupakan sebuah saksi bisu akan perjuangan manusia, akan menahan diri, menunda, mengorbankan, hanya untuk sebuah kebutuhan-kebutuhan kecil.
Uang sebagai Lawan Bicara
Salah satu hal yang menarik dari puisi ini adalah bagaimana uang diperlakukan: bukan sekadar benda mati, melainkan lawan bicara. Jokpin menulis seolah-olah sedang berbicara langsung dengan uang, meminta, memohon, bahkan berdialog. Ini menunjukkan betapa dekatnya uang dengan hidup manusia, seakan-akan ia sudah menjadi makhluk yang hidup dalam keseharian kita.
Relasi manusia dengan uang dalam puisi ini terasa ambigu. Di satu sisi, ada kebutuhan yang membuat kita harus bergantung padanya. Di sisi lain, ada kesadaran bahwa uang tidak selalu bisa memenuhi kebutuhan itu dengan mudah. Puisi ini tidak mengutuk uang, juga tidak memujanya. Ia hanya menempatkannya sebagai bagian dari kehidupan: sesuatu yang tak bisa dihindari, tetapi juga tak pernah sepenuhnya memuaskan.
Dengan gaya khasnya, Jokpin menghadirkan percakapan yang sederhana namun sarat lapisan makna. Uang, dalam puisi ini, menjadi cermin bagi kehidupan manusia yang rapuh, penuh kebutuhan, penuh keterbatasan.
Kritik Sosial dalam Kesederhanaan
Sekilas, puisi ini tampak hanya bicara soal permintaan pribadi. Namun jika dibaca lebih dalam, ada kritik sosial yang tersembunyi. Permintaan rumah yang murah saja dan ranjang yang lugu saja sejatinya bukanlah keinginan berlebihan. Itu adalah kebutuhan dasar manusia. Tetapi dalam kenyataan, justru hal-hal mendasar itulah yang paling sulit dijangkau.
Di Indonesia, misalnya, harga rumah terus melambung, tanah menjadi komoditas, dan hunian layak semakin sulit diraih, terutama bagi mereka yang bekerja keras seumur hidup dengan penghasilan pas-pasan. Sementara itu, ranjang sederhana yang hangat pun bisa menjadi kemewahan bagi sebagian orang. Jokpin tidak perlu menuliskan kata “ketidakadilan” atau “kapitalisme”; ia hanya berbisik tentang rumah murah dan ranjang lugu, dan pembaca langsung bisa merasakan kritik yang terselubung.
Dengan kelembutan bahasa, Jokpin justru lebih berhasil menyampaikan keresahan sosial dibandingkan teriakan-teriakan lantang. Puisi ini adalah sindiran halus, yang sekaligus menjadi doa lirih bagi mereka yang ingin hidup sederhana tapi layak.
Tubuh, Waktu, dan Eksistensi
Lebih jauh lagi, puisi ini bisa dibaca sebagai refleksi eksistensial tentang tubuh dan waktu. Tubuh yang menua, yang penuh encok, menjadi pusat pengalaman manusia. Ranjang bukan hanya tempat tidur, melainkan metafora tempat tubuh itu dirawat. Di sinilah kesadaran tentang kefanaan muncul: manusia lahir lentur dan liat, lalu menua, kaku, penuh sakit.
Jokpin seakan ingin mengingatkan bahwa hidup tidak hanya diukur dari ambisi dan pencapaian besar, tetapi dari bagaimana kita merawat tubuh di masa senja. Puisi ini mengajarkan bahwa ada kebijaksanaan dalam menerima keterbatasan, dalam merangkul kelemahan, dalam mencari kehangatan kecil untuk menopang diri.
Dengan menyandingkan kaki ranjang dengan kaki masa kecil, Jokpin memperlihatkan lingkaran kehidupan. Waktu bukan garis lurus, melainkan putaran yang mempertemukan awal dan akhir. Rumah dan ranjang, dua benda sederhana, menjadi saksi perjalanan tubuh manusia dari lentur menuju encok, dari kanak-kanak menuju senja.
Konteks Budaya Indonesia
Puisi ini semakin kuat ketika dibaca dalam konteks budaya Indonesia. Masyarakat kita sangat akrab dengan konsep rumah sederhana, ranjang sederhana, dan kebutuhan dasar yang diperjuangkan dengan kerja keras. Banyak orang yang menghabiskan hidup hanya untuk menabung demi rumah kecil atau ranjang layak.
Selain itu, ada budaya “tabungan” yang begitu melekat. Orang tua sering menasihati anak-anaknya untuk rajin menabung demi masa depan. Namun Jokpin memelintir konsep itu: menabung lapar, menabung mimpi, bahkan menabung sakit. Bagi sebagian besar masyarakat, memang begitulah realitas: tabungan datang dari pengorbanan, dari menahan lapar, dari menunda mimpi, dari mengorbankan kesehatan.
Puisi ini berbicara dengan suara yang akrab bagi orang Indonesia. Ia bukan sekadar refleksi individual penyair, tetapi juga suara kolektif masyarakat yang hidup di tengah realitas ekonomi yang keras.
Refleksi Lebih Luas: Hidup Sederhana di Dunia Modern
Di dunia modern yang penuh ambisi, puisi ini menghadirkan kontras yang menenangkan sekaligus menyakitkan. Ketika banyak orang mengejar rumah mewah, mobil, dan gaya hidup glamor, Jokpin hanya meminta rumah murah dan ranjang lugu. Kesederhanaan ini menjadi kritik terhadap budaya konsumtif yang sering melupakan kebutuhan dasar.
Namun, puisi ini juga menyadarkan kita bahwa bahkan kesederhanaan pun bisa menjadi kemewahan. Rumah murah tidak mudah didapat, ranjang sederhana tidak selalu terjangkau. Hidup sederhana bukan sekadar pilihan, tetapi sering kali menjadi perjuangan.
Di sinilah letak keindahan ironi Jokpin: ia menulis dengan bahasa lembut, tetapi justru karena kelembutannya, kritik itu terasa lebih tajam. Ia tidak mengutuk dunia modern, tidak pula melarikan diri darinya, melainkan menempatkan dirinya di tengah-tengah, berbicara jujur tentang kebutuhan kecil yang penuh makna.
Penutup: Doa Lirih yang Menyentil
Pada akhirnya, puisi “Kepada Uang” adalah doa lirih yang menyentuh banyak lapisan kehidupan. Ia berbicara tentang kebutuhan dasar manusia, tentang tubuh yang menua, tentang relasi dengan uang, tentang kritik sosial, tentang waktu, tentang hidup sederhana. Jokpin tidak menawarkan jawaban atau solusi, hanya menghadirkan cermin: beginilah kita hidup, dengan lapar yang ditabung, mimpi yang ditunda, sakit yang dikuras, hanya untuk rumah murah dan ranjang lugu.
Keindahan puisi ini justru terletak pada kesederhanaannya. Ia tidak berteriak, tidak mengecam, hanya berbisik. Tapi dari bisikan itulah lahir gema yang panjang: refleksi tentang hidup yang sederhana sekaligus rapuh, tentang uang yang begitu dekat sekaligus menjauh, tentang tubuh yang menua, tentang dunia yang sering tidak memberi ruang bagi kesederhanaan.
Joko Pinurbo, dengan gaya khasnya, sekali lagi menghadirkan ironi lembut yang membuat kita tertawa kecil, tetapi juga merenung panjang. Puisi ini adalah pengingat bahwa kebahagiaan sering kali terletak pada hal-hal kecil yang tampak remeh, tetapi justru paling sulit diraih: sebuah rumah murah, sebuah ranjang lugu, dan kedamaian di senja hidup.