Tahukah kamu kalau industri mode fashion dikenal sebagai yang paling merusak lingkungan? Dunia fashion diketahui menyumbang 10 persen dari emisi gas rumah kaca global, mengeringkan sumber air, dan mencemari aliran sungai. Ia juga dilaporkan melepas 1.715 juta ton CO2 dan memproduksi 92 juta ton sampah setiap tahunnya.
Selain itu, ada 79 miliar meter kubik air yang dihabiskan oleh industri ini, di saat 2,7 miliar orang di dunia mengalami kelangkaan air. Satu kaus katun membutuhkan setidaknya 2.700 liter air. Jumlah itu cukup untuk minum satu orang selama 900 hari.
Menyadari hal tersebut, kini industri mode mulai berbenah dengan menciptakan model industri baru yang lebih ramah lingkungan melalui circular fashion, yang juga jadi kata kunci di London Fashion Week, pada 17 September 2021 lalu.
Apa circular fashion itu? Circular fashion mengacu pada pakaian, sepatu, dan aksesori yang dirancang untuk bisa digunakan dalam jangka waktu yang lama.
Ia dibuat dengan bahan-bahan yang dapat terurai, tidak beracun, dan yang pasti bisa didaur ulang. Ide ini dikembangkan oleh Anna Brismar pada 2017.
Menyadur dari The Honest Consumer, pendiri Green Strategy, Anna Brismar mengatakan, circular fashion adalah soal menggunakan kembali sumber daya yang sudah dimiliki oleh industri mode, daripada selalu membuat yang baru.
Circular fashion didasari oleh konsep circular economy yang bertujuan untuk meminimalkan limbah dan memanfaatkan sumber daya sebaik-baiknya. Model ini diyakini punya potensi besar membentuk infrastruktur industri mode yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Lalu, bagaimana contoh circular fashion itu?
Pada 2019, brand Ministry of Supply membuat kemeja Aero Zero dari botol air daur ulang dan memproduksinya dengan energi tenaga surya terbarukan. Cara ini pun diklaim bisa mengurangi emisi karbon hingga lebih dari 50%. Adapula brand Candiani yang buat denim nabati yang bisa terurai dan jadi kompos.
Namun, ada tantangan yang harus dihadapi oleh model baru industri pakaian ini. Pertama, circular fashion tidak bisa diwujudkan oleh satu pihak saja, ia butuh sistem yang bisa mendukung aktivitas sirkularitas terjadi. Kedua, kurangnya infrastruktur untuk mengumpulkan pakaian lama untuk dijual atau diubah kembali menjadi serat.
Selain itu, tidak jarang proses daur ulang juga menggunakan energi dari bahan bakar fosil. Yang tidak kalah penting adalah soal biaya, mengingat circular fashion masih memerlukan banyak uji coba terhadap bahan dan zat yang layak digunakan untuk menjaga kualitas dan daya tahan pakaian.
Menyadur dari Financial Times, Direktur Pelaksana Closed Loop, Caroline Brown mengatakan ada banyak solusi saat ini yang masih dalam tahap awal, tapi untuk mendapatkan solusi dari lab, uji coba hingga komersial memerlukan modal dan biaya yang berarti.