Penyesalan Diri yang Tak Ada Obatnya

Siswanto | Siswanto
Penyesalan Diri yang Tak Ada Obatnya
Ilustrasi tangan orang tua/kakek. Shutterstock

Berbicara mengenai penyesalan, pastinya semua orang pernah merasakannya, termasuk saya. Bertahun-tahun saya merasakan kesedihan.

Saya seorang sekuriti di salah satu kantor di Jakarta. Saya menggeluti pekerjaan ini hampir delapan tahun dan sampai sekarang ini. Bagi saya pekerjaan sebagai sekuriti adalah suatu hal yang mulia karena berkaitan dengan kepercayaan orang lain.

Hal itulah yang mendorong saya setia menjalani pekerjaan ini. Akan tetapi dari semua ini tersimpan kesedihan yang sangat mendalam bagi saya, dimana ketika liburan hari-hari besar semacam Idul Fitri dan Idul Adha, bahkan tahun baru, saya masih harus tetap bekerja  menjaga kantor.

Namun, itu tidak seberapa dibandingkan dengan kejadian tiga tahun yang lalu. Semula berawal ketika masih bekerja di kantor, saya mendapatkan telepon bahwa ayah sakit keras dan dirawat di rumah sakit. Waktu itu, secepatnya saya harus pulang kampung ke Pekalongan, Jawa Tengah.

Akan tetapi karena waktu yang mendadak, saya tidak bisa izin libur kerja. Namun, saya terus menelpon keluarga saya untuk mengetahui keadaan ayah saya. Dan keesokan harinya pun saya sering menelpon.

Pada hari itu, saya dapat berita bahwa ayah saya meninggal dunia. Semuanya terasa kacau, di mana saya harus melihat jasad ayah saya, di sisi lain saya punya tugas dan tanggung jawab di kantor.

Namun sebelum saya merantau ke Jakarta, kedua orang tua saya, bahkan kakek saya berpesan pada saya, “Apabila di antara keluarga kita ada yang meninggal dunia dan di antara kita sedang bekerja jauh tak perlu kalian berhenti bekerja hanya untuk melihat jasadnya. Karena apapun pekerjaan kalian, semua punya tanggung jawab yang besar yang harus dijaga.”

Ibarat kata, kalian bekerja dan meninggal pada waktu bekerja itu sama halnya dengan meninggal sahid/meninggal di jalan Allah.

Dan akhirnya, saya putuskan tak pulang kampung demi menjaga amanat orang tua, meski kesedihan selalu terasa sampai saat ini. Itulah yang saya sebut penyesalan karena tidak bisa menjadi anak yang berbakti kepada orang tua, bahkan ketika ayah saya meninggal dunia. Semestinya, saya ada di sampingnya di hari terakhir hidupnya. Saya malah masih bekerja.

Walaupun orang lain dan keluarga berkata lain tentang diri saya, semua saya lalukan demi amanah orang tua saya. Hingga akhirnya saya merasakan penyesalan yang terdalam dalam hidup saya.

Dikirim oleh Fahri, Jakarta

Anda memiliki foto atau cerita menarik? Silakan kirim ke email: [email protected]

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak