Proses IPO WeWork yang penuh gejolak menimbulkan keraguan akan maraknya co-working space atau ruang kerja bersama. Berita terbaru tentang WeWork yang menunda rencana Go Public dan CEOnya Adam Neumann berada di bawah tekanan Softbank telah menimbulkan kekhawatiran atas keberlanjutan co-working space. Sebelumnya ruang bersama atau tempat kerja bersama (co-working/flexible workspace) dianggap sebagai kantor masa depan dan mesin pertumbuhan permintaan perkantoran di kota-kota besar.
Bisnis Co-Working Space akan tetap berlanjut, masalahnya adalah WeWork.
Pertama, kami percaya bahwa tren co-working space akan tetap berlanjut. Konsep tempat kerja bersama atau ruang kerja fleksibel yang didukung oleh fasilitas seperti kantor dibandingkan rumah atau coffeeshop tetap menjadi pilihan kantor yang menarik untuk banyak orang, terutama freelancer, pengusaha rintisan (start-ups), wirausahawan and tim-tim kecil yang mengerjakan proyek-proyek yang memilih keunggulan yang ditawarkan oleh ruang kantor fleksibel.
Kekhawatiran justru karena kelompok operator besar, contohnya WeWork - yang saat ini merupakan operator co-working terbesar secara global, berekspansi secara agresif dan besar-besaran walaupun masih rugi dalam prosesnya. Di sisi lain, operator yang berukuran menengah dengan model bisnis yang serupa tetapi berskala lebih kecil tidak terlalu agresif dan karenanya, risiko bagi pemilik gedung perkantoran juga lebih rendah.
Dengan WeWork yang terus melaporkan kerugian, ditambah dengan komitmen sewa yang besar, tentu saja menimbulkan kekhawatiran tentang keberlanjutan operator co-working (misalnya dari permintaan ekspansi baru, kemampuan untuk mempertahankan harga sewa atau kenaikan sewa oleh pemilik gedung atau ruangan). Jadi, ada pertanyaan tentang dampak ekspansi agresif dalam beberapa tahun terakhir, pengeluaran modal awal yang tinggi, dan periode menunggu yang panjang sebelum berbalik menguntungkan oleh operator co-working pada permintaan ruang perkantoran. Hal ini juga menambah tingkat risiko untuk sektor perkantoran mengingat prospek perlambatan pertumbuhan ekonomi di tengah perang dagang antara AS dan Cina.
Seperti lebah terhadap madu. Dalam laporan riset DBS Group Research dengan judul Co-work Mushrooming across ASEAN, kami menemukan bahwa permintaan dari operator-operator co-working space telah menjamur di kota-kota utama di ASEAN (Bangkok, Kuala Lumpur, Jakarta dan Singapura) tetapi dengan kecepatan yang berbeda. Didorong oleh budaya perusahaan rintisan atau startup yang berkembang di industri IT / e-commerce, kami menemukan bahwa penyerapan yang terkuat ada di Singapura, Jakarta dan Bangkok sementara Kuala Lumpur baru saja menyusul.
Co-working di Singapura menyerap lebih banyak dengan 6% dari total stok ruang perkantoran dibandingkan di Jakarta sebanyak 4%. Kami melihat tren yang serupa di kedua kota yakni konsolidasi antara pemain yang lebih kecil diprediksi akan berlanjut, tetapi WeWork akan lebih dominan di Singapura (dengan porsi 20% dari total ruang coworking).
Thailand: Pertumbuhan kuat dengan paparan yang terkendali.
Meskipun penyerapan kuat, analisis kami menunjukkan bahwa co-working operator hanya menempati 1.3% dari total ruang kantor di Bangkok. Pemain yang dominan adalah pemain yang telah mapan seperti Regus / ServCorp dan Justco sementara WeWork baru saja mulai menjadi lebih aktif. Kami menemukan paparan yang lebih terkendali pada sebagian besar REIT dan pengembang Thailand; dengan masing-masing <3% dari NLA dan 3-12% dan sebagian besar pada kantor co-working/serviced yang lebih mapan. Kami memilih CPTGF dan TPRIME.
Kuala Lumpur (KL): Masih dalam tahap memulai pertumbuhan.
Kuala Lumpur masih dalam tahap memulai pertumbuhan dan kemungkinannya sangat kecil untuk mengalami guncangan. Bahkan, ada kekhawatiran yang lebih besar akan kelebihan jumlah kantor di KL dan lebih banyak penyerapan co-working operator akan positif untuk market secara keseluruhan. Kita memilih Sunway karena kualitas profil pertumbuhan pendapatannya didukung oleh pendapatan yang stabil secara berkala.