Indonesia kembali terpilih sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (HAM PBB) untuk periode 2020-2022 mendatang. Indonesia memperoleh posisi itu setelah mengantongi 174 suara dalam pemilihan yang dilaksanakan di markas besar PBB di New York, Kamis (17/10/2019).
Sebuah prestasi membanggakan yang teukir kembali. Sebelumnya, Indonesia pernah menjadi anggota Dewan HAM PBB selama 4 periode. Dimulai pada periode 2006-2007 selaku founding member. Kemudian Jakarta terpilih kembali untuk masa jabatan 2007-2010, 2011-2014, kemudian 2015-2017 sebelum terpilih lagi pada tahun ini.
Dipimpin oleh Presiden Sidang Umum ke-74 PBB, Duta Besar Nigeria Tijjani untuk PBB Muhammad-Bande, RI menang dengan meraup suara terbanyak. Selain Indonesia, tiga negara Asia Pasifik lain yang menjadi anggota untuk periode 2020-2022 adalah Jepang (165 suara), Korea Selatan (165 suara), dan Kepulauan Marshall (123 suara).
Dewan HAM PBB beranggotakan 47 negara melalui pemilihan langsung maupun rahasia pada Mejalis Umum PBB dengan distribusi geografis. Antara lain Afrika mendapat 13 kursi, Asia Pasifik 13 kursi, Amerika Latin dan Karibia 8 kursi.
Kembali dipercaya menjadi anggota dewan HAM PBB, Indonesia tak hanya dapat untuk berpartisipasi secara aktif dan menentukan arah pembahasan suatu isu saja. Melainkan juga dapat secara langsung memperjuangkan kepentingan nasional, dalam hal ini adalah memagari kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia lewat Dewan HAM PBB.
Akan tetapi, posisi mentereng Indonesia dalam dunia HAM internasional tersebut berbanding terbalik dengan penyelesaian kasus pelanggaran HAM di dalam negeri dan bahkan timbul berbagai pelanggaran HAM baru dimulai dari yang ringan sampai yang berat. Rapor penegakan hak asasi manusia serta penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu di Indonesia tahun 2019 masih merah alias buruk.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi dari kurun waktu Desember 2018 hingga November 2019. Tercatat 187 peristiwa tren pelanggaran terhadap kebebasan berkespresi, berkumpul dan menyampaikan pendapat melonjak tinggi pada bentuk pembubaran paksa dan penganiyayan.
Sebanyak 101 pembubaran paksa dengan represivtas yang tinggi, sperti pada aksi May Day, kerusuhan 21-23 Mei, dan Aksi Reformasi Dikorupsi 23-30 September. Terdapat 46 Penganiyayaan dengan represivitas yang diperparah respons arau upaya publik untuk menunut perubahan atas situasi yangt juga kerap mendapatkan intimidasi. Alhasil, sebanyak 1.615 orang menjadi korban penangkapan dan penahanan sewenang-wenang yang sangat massif.
Selain itu, terjadi juga pelanggaran terhadap kebebasan bergaragama, berkeyakinan, dan beribadah. KontraS mencatat terdapat 70 perisitiwa dengan mayoritas tindakan pelanggaran dan persekusi dengan rincian, 35 peristiwa pelarangan dan 25 perisitiwa persekusi.
Angka pelanggaran kebebasan beragama, berkeyaknan, dan beribadah menjadi sorotan setiap tahunnya sebab menjadi pekerjaan rumah turun temurun dari rezim ke rezim pemerintahan yang tahun ini menimbulkan korban sebanyak 77 korban, baik dari individu (19 orang) maupun kelompok (58 orang).
Dalam penegakan hukum, Indonesia juga masih menggunakan vonis hukuman mati bagi para terdakwa. Tercatat terjadi 40 penjatuhan vonis mati dengan berbagai latar belakang kasus yang menjadi dakwaan, dengan rincian 27 kasus narkotika, 13 kasus pembunuhan, dengan mayoritas vonis hukuman mati diputuskan dari pengadilan negeri.
Yang paling menakutkan adalah masih terjadinnya ancaman terhadap pembela HAM. Kontras mencatat adanya 161 aduan peristiwa ancaman dengan mayoritas korban mahasiswa, jurnalis, buruh, aktivis papua, aktivis lingkungan hidup, komunitas dan aktivis secara umum yang didominasi aparat kepolisian sebagai aktor utama.
Terakhir, Kontras juga menjadikan Papua sebagai wilayah dengan rapor HAM yang merah. Hal itu disebabkan oleh masih banyaknya pelanggaran HAM berat yang terjadi di bumi Cendrawasih tersebut. Tercatat jatuh korban luka sebanyak 193 orang, korban tewas sebanyak 90 orang, korban penangkapan aparat sebanyak 935, dan lainya sebanyak 11 orang.
Tak dapat dipungkiri bahwa militerisasi masih terjadi di Papua, Panglima TNI dan Kapolri sepakat untuk menambah pasukan mereka disana bukannya malahan menarik sebagai bentuk wujud demiliterisasi di tanah Papua.
Pengirim: Affan Syafiq / Mahasiswa Program Studi Hubungan Masyarakat Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia.
E-mail: [email protected]