Sebut saja Tina (bukan nama sebenarnya). Tina yang pada saat itu baru berusia 15 tahun harus menikah dengan Dika (bukan nama sebenarnya), yang waktu itu berumur 20 tahun. Pernikahan dilaksanakan selepas Tina lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pernikahan itu terjadi karena faktor perekonomian keluarga Tina yang bisa dibilang kurang mampu. Orang tua Tina menjodohkannya dengan Dika, karena orang tua Tina berpikir, keluarga Dika bisa meringankan beban keluarga Tina dengan menikahinya.
Selepas pernikahan hari itu, Tina tinggal bersama dengan kedua orang tua Dika. Beruntung Dika yang sehari-hari bekerja di sebuah pabrik bisa membantu kehidupan Tina. Tapi, bukan berarti Tina bahagia dengan semua itu. Tina yang memiliki sejuta impian, seketika harus berhenti bermimpi, karena pernikahan ini telah menghentikan kesempatan Tina untuk melanjutkan pendidikan.
Tiga bulan setelah pernikahan itu terjadi, Tina mengandung anak pertamanya. Setelah itu, impiannya seakan dikuburnya dalam-dalam. Bagaimana tidak? Ia harus mengurus anaknya setelah dia melahirkan. Tina yang seharusnya masih bersama teman-teman sebayanya, bermain bersama, kini harus berdiam diri di rumah, mengurus anaknya. Sedangkan Dika harus berpikir untuk tetap bisa menghidupi Tina dan anaknya yang masih kecil itu agar kebutuhan mereka bisa tercukupi.
Pernikahan Tina dan Dika tadi bukanlah sekedar cerita fiksi atau potret Indonesia masa lalu, namun itu adalah kondisi diskriminasi perempuan saat ini. Pernikahan yang seharusnya menciptakan kebahagiaan, malah menciptakan sebuah kenyataan pahit.
Ketika sang wanita yang harusnya berbahagia di hari “pernikahan” nya, dia malah bersedih. Ia harus meninggalkan masa-masa bahagia sebagai seorang remaja. Ini sungguh kenyataan yang menyakitkan hati ketika seorang anak yang memiliki cita-cita tinggi namun harus terhenti begitu saja.
Bagaimana bisa seorang anak yang seharusnya mereka masih bermain bersama teman-teman sebayanya, memakai seragam sekolahnya, melanjutkan pendidikannya namun harus memikul tanggung jawab yang berat. Mereka mengorbankan masa muda mereka, mengorbankan cita-cita yang selama ini berada dalam pikiran mereka.
Cita-cita yang seharusnya mereka gapai bersama teman-temannya seakan musnah begitu saja, saat mereka tahu bahwa mereka akan menjadi seorang “pengantin” di usia dini. Sungguh ini adalah sebuah kenyaatan pahit untuk anak-anak tersebut yang seharusnya tidak mereka dengar di umur mereka yang masih terlalu dini.
Mereka belum mengerti apa arti sebenarnya dari pernikahan itu sendiri. Bahkan baju pengantin yang mereka kenakan terlalu besar untuk tubuh mereka. Ketika mereka dipaksa meninggalkan waktu-waktu berharga mereka bersama teman-teman sebayanya lalu berkutat dengan kewabijan sebagai “suami-istri”.
Berdasarkan data dari BPS (Badan Pusat Statistik), provinsi dengan jumlah persentase pernikahan muda tertinggi adalah Kalimantan Selatan sebanyak 22,77 persen, Jawa Barat (20,93 persen), dan Jawa Timur (20,73 persen). Inilah potret sebagian kehidupan di negeri kita saat ini. Lemahnya pengawasan dari pemerintah, serta minimnya edukasi yang diberikan merupakan penyebab dari terjadinya “pernikahan dini” ini. Hak pendidikan mereka dirampas seketika. Lalu, digantikan dengan kewajiban yang amat sangat berat, yaitu kewajiban berumah tangga.
Kewajiban yang seharusnya dipikul di usia yang matang, namun sudah mereka lakukan dengan usia yang amat sangat belia. Mirisnya lagi, keadaan itu terjadi karena antara adanya kesulitan ekonomi, menghindari zina dan juga tradisi. Ketiga faktor inilah yang selalu menjadi alasan mengapa “pernikahan dini” dilaksanakan.
Dan ketiga faktor ini juga,yang selalu dijadikan alasan oleh para orang tua mereka untuk menjawab pertanyaan publik. Padahal ketiga alasan tersebut tidak dapat diterima oleh beberapa kalangan, sebab mereka berpikir pendidikan adalah satu hal yang amat penting.
Demi menuruti perintah orang tua dan menghindari zina, menjadi alasan mereka untuk menikah di usia dini. Mereka harus menggadaikan hak sebagai anak terutama hak untuk mendapatkan Pendidikan. Bahkan kebanyakan dari mereka, setelah menikah mereka masih hidup dan bergantung dengan orang tua dari salah satu pihak, karena mereka tidak melanjutkan pendidikan. Pekerjaan yang dapat mereka kerjakan hanyalah pekerjaan serabutan yang hasilnya tidak seberapa. Bahkan untuk makan sehari-hari pun kadang-kadang tidak cukup.
Di mana hak seorang anak yang seharusnya mendapat perhatian dan perlindungan dari orang tua mereka? Apa hanya karena alasan materi dan menghindari zina semata mereka dinikahkan? Langkah para orang tua itu bukanlah suatu solusi yang baik. Ini merupakan jalan pintas yang merugikan hak seorang anak. Faktanya, pernikahan dini ini lebih banyak merugikan pihak wanita. Para perempuan yang menikah di usia dini, mereka belum mengerti bagaimana cara menghadapi suami mereka.
Menurut BkkbN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) menyebutkan bahwa, wanita yang menikah di usia dini dari sisi kesehatan bisa saja subur secara biologis, akan tetapi belum matang sehingga rentan terkena kehamilan dengan komplikasi tinggi. Selain itu, anak yang dilahirkan dari ibu yang menikah usia dini kerentanannya 1,5 kali bila dibandingkan dengan ibu yang berusia 20-30 tahun.
Bahaya yang dialami pihak wanita ketika mereka menikah di usia dini tidak hanya dirasakan di masa hamil dan juga melahirkan. Tetapi lanjut pada masa membesarkan anak. Keterbatasan ekonomi dan keterampilan,membuat pihak wanita tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk merawat bayinya. Bisa terjadi resiko penelantaran bayi, karena ketidaksiapan si wanita ini. Jika hal ini terus berlanjut, maka kemungkinan sang anak akan mengalami keterlambatan perkembangan, gangguan perilaku serta kesulitan untuk belajar.
Maka dari itu, penyampaian informasi untuk generasi milenial sekarang harus dikemas dengan cara yang lebih kreatif dan menarik. Agar para generasi milenial bisa bertambah wawasannya mengenai, bagaimana kehamilan ini berpengaruh besar bagi kehidupan mereka. Serta, mereka harus mengetahui resiko apa saja yang akan dia hadapi jika menikah di usia dini. Karena jika semakin banyak informasi yang mereka dapat, semakin banyak juga generasi milenial yang memutuskan untuk tidak menikah di usia yang terlalu dini.
Oleh: Dwinita Adiva Riwendari / Mahasiswi jurusan Marketing Communication, Fakultas Ekonomi dan Komunikasi, Binus University.