Indonesia sebagai penghasil sawit terbesar di dunia tentu memiliki potensi yang besar untuk menghasilkan devisa negara dengan produk-produk sawitnya. Tercatat 2019 produksi minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) Indonesia sepanjang Januari-Oktober 2019 mencapai 44,05 juta ton atau sekitar 11,26 persen lebih tinggi dari produksi periode yang sama tahun 2018.
Di balik potensi besar sawit yang dimiliki Indonesia, terdapat tantangan besar yang harus dihadapi Indonesia, yaitu embargo minyak sawit yang dilakukan Uni Eropa karena isu lingkungan berupa deforestasi akibat perkebunan sawit yang masif. Hal ini tentu menjadi ancaman bagi industri sawit di Indonesia, melihat negara-negara Uni Eropa merupakan salah satu tujuan utama ekspor minyak sawit Indonesia dengan total ekspor pada tahun 2018 mencapai 4,7 juta ton.
Dalam menghadapi embargo ini, Pemerintah Indonesia mengajukan gugatan bersama Malaysia kepada World Trade Organization (WTO), dan bahkan melakukan melakukan pembalasan dengan berencana menghentikan ekspor nikel ke Uni Eropa, yang juga hal ini akan digugat Uni Eropa kepada WTO. Tindakan reaktif semacam ini tentu berisiko menjadikan hubungan Indonesia dan Uni Eropa semakin merenggang.
Dengan adanya embargo minyak sawit dari uni eropa ini, menyebabkan membludaknya cadangan minyak sawit dalam negeri. Untuk menghadapi hal ini, strategi yang dilakukan Pemerintah Indonesia adalah dengan memaksimalkan pemakaian minyak sawit dalam negeri. Salah satu caranya adalah dengan meluncurkan B20, yaitu bahan bakar biodiesel yang merupakan campuran 20 persen minyak sawit dan 80 persen solar, dan pada tahun 2020 mulai diluncurkan B30 dimana takar kandungan minyak sawitnya meningkat menjadi 30 persen dan diharapkan akan terus berkembang sampai B100.
Dengan penerapan B20 dan B30 ini selain penyerapan minyak sawit dalam negeri yang tinggi manfaat yang didapat lainya adalah menurunkan impor minyak Indonesia sehingga dapat memperbaiki neraca perdangangan Indonesia.
Strategi lain yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam menghadapi embargo ini adalah dengan mencari negara tujuan ekspor minyak sawit lainnya yang potensial, salah satunya adalah China. Pemerintah Indonesia sudah melakukan lobi ke Pemerintah China untuk mengganti minyak kedelai yang selama ini lebih banyak digunakan di China dengan minyak sawit atauCPO dari Indonesia.
Hal ini nampaknya disambut cukup baik oleh China, mengingat selama ini China memenuhi kebutuhan kedelai mereka dari Amerika Serikat, dan dengan terjadinya perang dagang antara China dan Amerika Serikat, China menaikan tarif masuk kedelai dari Amerika Serikat sehingga menurunnya kedelai Amerika Serikat yang masuk ke China.
Pemerintah Indonesia juga tidak boleh mengesampingkan isu lingkungan yang menjadi perhatian Uni Eropa terhadap perkebunan kelapa sawit, walaupun Presiden Jokowi dalam tweet-nya menyebutkan, Uni Eropa memunculkan isu bahwa minyak kelapa sawit (CPO) tidak ramah lingkungan, semata-mata hanya bentuk perang bisnis antarnegara saja karena CPO bisa lebih murah dari minyak bunga matahari mereka.
Di samping benar atau tidak nya hal ini, tidak ada salahnya Pemerintah Indonesia juga lebih memperhatikan isu lingkungan dalam industri kelapa sawit sehingga dapat terciptanya industri kelapa sawit yang ramah lingkungan. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan pemerintah adalah penguatan standar lingkungan dalam Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang merupakan standar nasional minyak sawit Indonesia.