Di tengah kondisi pandemi covid-19 ini, kepemimpinan seorang pemimpin sedang diuji. Kepemimpinan seseorang yang sesungguhnya akan terlihat saat dihadapi dengan masalah pandemi ini. Tak terkecuali kepemimpinan seorang Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini alias Risma.
Mengutip dari laman lawancovid-19.surabaya.go.id, tercatat pada hari Jumat (29/05/2020) pasien yang terpapar covid-19 di Surabaya masih menjadi penyumbang tertinggi kasus positif covid-19 di Jawa Timur yaitu sebanyak 2300 orang. Tingginya kasus positif covid-19 tersebut, bukan berarti Risma tidak melakukan upaya untuk menangani penyebaran covid-19 di Surabaya.
Sebagai seorang pemimpin, tentunya kepemimpinan merupakan kunci dalam memerangi penyebaran Covid-19. Saat ini kebijakan utama yang dilaksanakan Risma dalam rangka memerangi covid-19 yaitu dengan memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). PSBB di Surabaya sudah diterapkan sejak tanggal 28 April 2020 hingga kini mencapai tahap ketiga.
Walikota perempuan pertama di Surabaya tersebut mengaku telah mengimbau warganya untuk lebih menaati protokol kesehatan. Selain itu, Risma bahkan mengatakan telah melakukan penindakan tegas bagi warga yang melanggar PSBB serta bekerja sama dengan Satpol PP berpatroli ke perusahaan maupun pertokoan untuk memastikan tidak ada yang melanggar aturan PSBB.
Hanya saja, pada kenyataannya upaya tersebut belum efektif lantaran kasus positif covid-19 di Surabaya yang kian meningkat. Hal ini dikarenakan masih banyak warga Surabaya yang mengabaikan peraturan PSBB terkait protokol kesehatan, misalnya saja, masyarakat tidak memakai masker saat berkeliaran di luar rumah, jalanan tetap ramai, mal tetap buka, dan kafe-kafe masih menyediakan layanan dine in.
Di samping itu, Risma dalam menangani covid-19 dinilai tidak memiliki komunikasi dan koordinasi yang baik secara horizontal maupun vertikal. Misalnya pada saat rapat pembahasan PSBB Surabaya Raya dan Walikota Risma berhalangan hadir dua kali. Alih-alih mendelegasikan Wakil Wali Kota Surabaya Whisu Sakti Buana, beliau justru mendelegasikan Sekretaris Kota Hendro Gunawan. Hal ini menunjukan tidak adanya keharmonisan hubungan di antara walikota dengan wakilnya.
Selanjutnya, koordinasi vertikal antara Walikota Surabaya Risma dengan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Paraswara juga disorot oleh Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Surabaya Arif Fathoni. Beliau berpendapat bahwa selama ini seperti kurang koordinasi antara kedua kepala daerah tersebut yang mengakibatkan terjadi silang pendapat terkait penanganan Covid-19 di Surabaya. Contohnya saja saat Gubernur Jatim menyebutkan pabrik rokok Sampoerna merupakan klaster baru penularan Covid-19, sedangkan Wali Kota Surabaya berkata Sampoerna merupakan klaster lama.
Yukl (2007) memberikan definisi tentang gaya kepemimpinan yaitu berbagai pola tingkah laku yang disukai oleh pemimpin dalam proses mengarahkan dan mempengaruhi pekerja. Dalam hal ini, gaya kepemimpinan yang dibawa oleh Walikota Surabaya adalah gaya kepemimpinan otoriter karena terpusat pada dirinya sendiri. Hal ini didukung dengan catatan Jurnalis senior Dhimam Abror yang menyatakan kepemimpinan Risma yang “one man show” memang terlihat kentara belakangan ini.
Gaya kepemimpinan ini dianggap belum memberikan dampak siginfikan dalam menekan penyebaran Covid-19. Ditambah lagi dengan kepemimpinan Walikota Risma yang kurang responsif dan kurang tegas. Meskipun begitu, penanganan Covid-19 tidak akan berhasil jika hanya seorang pemimpin saja yang bergerak. Oleh karena itu, semua pihak perlu bahu membahu dalam perang melawan covid-19 terkhusus masyarakat dan pemerintah yang harus saling bersinergi dan saling percaya.