Siapa sangka virus baru yang dikenal dengan nama Covid-19 yang pertama kali muncul di kota Wuhan Cina bulan Desember tahun lalu akan menjadi sebuah bencana besar dan dengan cepat menyebar di berbagai Negara di dunia. Setidaknya sampai dengan hari ini tercatat sebanyak 200 lebih negara dan lebih dari empat juta penduduk dunia telah terinfeksi Covid-19, termasuk Indonesia.
Bagaimana tidak, imbas dari covid-19 dirasakan hampir diseluruh sektor kehidupan, termasuk ekonomi. Pemerintah Indonesia telah menyatakan bahwa Covid-19 sebagai bencana non alam yang mempengaruhi stabilitas ekonomi dan penerimaan Negara.
Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 diperkirakan lebih lambat dari tahun sebelumnya terutama triwulan II dan III. Covid-19 menurunan penerimaan Negara, hingga 30 April 2020 realisasi pendapatan Negara baru mencapai Rp 549,5 T atau 31,2% dari APBN, termasuk didalamnya penerimaan pajak sebesar Rp 376,7 T atau 30% dari target.
Social distancing sebagai upaya memutus rantai penyebaran Covid-19 telah menurunkan aktivitas ekonomi dan produktivitas pelaku usaha yang berujung pada penurunan penerimaan pajak. Selain itu Covid-19 telah melemahkan nilai tukar rupiah dan menurunkan daya beli masyarakat.
Merespon hal tersebut, pemerintah mengambil strategi untuk menjaga eksistensi usaha di beberapa sektor yang terdampak Covid-19 dengan memberikan stimulus ekonomi berupa pemberian insentif pajak.
Sebelumnya pemerintah telah mengatur pemberian insentif pajak dengan peraturan PMK-23/PMK.03/2020, namun peraturan ini ternyata tidak mencakup semua sektor usaha yang terdampak.
Makin banyak sektor usaha yang harus menanggung beban ekonomi akibat meluasnya Covid-19, termasuk pelaku usaha kecil dan menengah. Selang satu bulan pemerintah memperluas pemberian insentif pajak dengan peraturan PMK- 44/PMK.03/2020. Insentif pajak diberikan untuk masa pajak April 2020 sampai dengan September 2020 atas lima jenis pajak sebagai berikut:
Pertama, untuk meningkatkan daya beli masyarakat, pemerintah memberikan tambahan penghasilan berupa insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP).
Kedua, melemahnya rupiah menyebabkan kemampuan wajib pajak untuk melakukan impor menurun, pembebasan PPh Pasal 22 diberikan agar wajib pajak dapat mempertahankan laju impornya di tengah pandemi.
Ketiga, pengurangan PPh Pasal 25 sebesar 30% diberikan agar cash flow wajib pajak tetap sehat sehingga mencegah pemecatan karyawan dan menstabilkan perekonomian dalam negeri. Keempat, insentif pengembalian pendahuluan PPN yang membantu mengoptimalkan manajemen kas dan cash flow wajib pajak.
Berdasarkan PMK-23/PMK.03/2020 keempat bentuk insentif tersebut hanya untuk wajib pajak sektor tertentu dan wajib pajak KITE (Kemudahan Impor Tujuan Ekspor) kemudian sektor usaha diperluas dengan PMK-44/PMK.03/2020 dan menambahkan Wajib Pajak Kawasan Berikat sebagai penerima insentif.
Bentuk insentif yang kelima adalah PPh Final UMKM Ditanggung Pemerintah (DTP). Insentif ini baru ada pada PMK-44/PMK.03/2020 karena di lapangan banyak sektor informal seperti UMKM yang justru paling terdampak namun tidak termasuk dalam wajib pajak yang mendapatkan insentif.
Kesulitan keuangan dirasakan pelaku usaha UMKM seperti pengusaha makanan yang omsetnya turun drastis akibat Covid-19. Dengan adanya insentif, beban UMKM akan lebih ringan karena tak perlu melakukan setoran pajak.
Lalu, mengapa pemerintah memberikan insentif pajak yang akan menurunkan penerimaan Negara? Fungsi pajak bukan melulu soal mengumpulkan pundi-pundi uang dan memenuhi target penerimaan Negara saja namun juga berperan dalam mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan perpajakan.
Selain itu ini merupakan strategi pemerintah untuk memberikan semangat kepada wajib pajak yang terdampak dalam membantu pemerintah menanggulangi Covid-19. Memang, penerimaan pajak akan turun namun sejalan dengan hal tersebut tax expenditure juga akan meningkat.
Peningkatan tax expenditure akan meningkatkan government expenditure, yang memberikan multiplier effect pada perekonomian nasional, diantaranya adalah peningkatan daya beli masyarakat yang akan meningkatkan PPN, serta stabiltas ekonomi, produktifitas usaha dan manajemen kas yang sehat diharapkan dapat meningkatkan potensi PPh terutang setelah periode insentif berakhir.
Strategi Pemerintah dengan memberikan stimulus di bidang perpajakan ini merupakan langkah yang tepat karena secara global sebagian besar Negara di dunia mengambil instrumen perpajakan sebagai upaya untuk manggulangi dampak Covid-19.
Agar strategi pemerintah berjalan dengan efektif, tepat sasaran dan tidak disalahgunakan, implementasi insentif pajak harus dikawal dengan pengawasan dan penegakkan hukum yang ketat. Sebagai bentuk pertanggungjawaban, penerima insentif berkewajiban menyampaikan laporan realisasi pemanfaatan insentif untuk setiap masa pajak.
Pada bulan Mei 2020 DJP menerima laporan realisasi pemanfaatan insentif yaitu PPh 21 TP dan PPH Final UMKM DTP untuk masa pajak April 2020. Laporan realisasi tersebut hendaknya dapat menjadi bahan evaluasi, apakah insentif benar-benar mengcover seluruh sektor terdampak. Sehingga pada periode yang tersisa, pemberian insentif pajak dapat dimanfaatkan dengan lebih maksimal.
Harapan yang didamba adalah strategi pemerintah ini tidak hanya menjadi khayalan semata namun juga dapat memberikan efek yang nyata dan positif bagi perekonomian Negara.